Dalam
al-Qur`ân
secara ekplisit menyebut amȃnah sebanyak enam ayat dengan kategori mufrad
(tunggal), dan jamak nya, yaitu pada
QS al-Baqarah/ 2:283, an-Nisȃ/4:58, al-Anfȃl/8:27, al-Mu’minȗn/ 23:8, al-Ma’ȃrij/70:32, al-Ahzȃb/ 33:72. Sementara orang
yang amanah, dalam hal ini para rosul, disebut dalam ungkapan rosȗlun amȋn,
sebanyak enam ayat (QS as-syu’arȃ/26:107, 125, 143, 162 dan 178 dan QS
Ad-dukhȃn/44:18). Kata nasȋbun amȋn
(QS al-a’raf/7:68), ar-rȗhul amȋn
(QS As-syu’arȃ/26:193), qowiyyun amȋn
(QS an-naml/27:39) nabi Musa sebagai al-Qowiyyul
amȋn (QS al-qashash/28:26), maqomuin
amin (QS Ad-dukhȏn/ 44:51) dan al-baladul
amȋn (QS At-tȋn/95:3).[1]
Dalam
bernegara, amanah adalah hal yang paling jarang dilakukan oleh pemangku negara.
Amanah dalam bahasa modern disebut dengan kredibel/ kredibilitas. Kredibiltas
adalah sesuatu yang urgen bagi tegaknya kebenaran dan kebaikan dalam bernegara.
Amanah
merupakan perkara yang paling urgen untuk urusan kehidupan, begitu juga dalam
hal bernegara yang menyangkut aspek
sosial bermasyarakat. Perintah untuk berlaku amanah sudah tercermin dalam al-Qur’ȃn.
Allah berfirman:
“Maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (QS al-Baqarah/
2:283).
Dalam
kontek ayat ini Quṯb menjelaskan bahwa orang yang berutang adalah memegang
amanat yang berupa utang, dan yang berpiutang memegang amanat berupa barang
jaminan (dari yang berutang). kedua-duanya diseru untuk menunaikan amanat
masing-atas nama takwa kepada Allah.[2]
Ayat
lain yang menjelaskan tentang amanah. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada
yang berhak menerimanya“ (QS an-Nisa/4:58).
Quṯb menjelaskan bahwa
amanat-amanat itu sudah tentu dimulai dengan amanat yang terbesar, yaitu amanat
yang dihubungkan Allah dengan fitrah manusia. Amanat yang bumi dan langit serta
gunung-gunung tidak mau memikulnya dan takut memikulnya akan tetapi manusialah
yang memikulnya. yang dimaksud adalah amanat hidayah, makrifah dan iman kepada
Allah dengan niat hati, kesungguhan dan arahan.[3]
Dalam
hadis anjuran amanah merupakan anjuran dalam bersikap dan bernegara.
“Dari Abu
Hurairah r.a, Rasulullah s.a.w bersabda; “tanda orang munafik itu tiga macam,
iaitu jikalau berkata dusat, jikalau berjanji mungkiri, dan jikalau diberi
amanah lalu khianat”.[4]
Demi
tegaknya negara yang baik dan kredibiltas, al-Qur`ân telah memberikan sinyal
akan urgensi amanah ditegakkan dalam persolaan kenegaraan, sebagaimana
kredibiltas para nabi yang mustahil melakukan kecurangan (QS Al-Imran/ 3:161).[5]
Begitu
juga kewajiban kredibiltas dalam menyampaikan amanat (QS An-Nisa/4:58). Ayat
ini diperintahkan untuk menyampaikan “amanat” kepada yang berhak.
Pengertian amanat dalam ayat ini, ialah sesuatu yang dipercayakan kepada
sesorang untuk dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Kata “amanat” dengan pengertian ini sangat luas, meliputi “amanat” Allah
kepada hamba-Nya, amanat seseorang kepada sesamanya dan terhadap dirinya
sendiri.[6]
Selain
tuntutan amanah kepada yang berhak menerimanya, anjuran amanah juga diwajibkan
kepada Allah, Rosul dan orang lain (QS Al-Anfal/ 8:27). Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah
dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang
dipercayakan kepadamu, sedang kamu Mengetahui”.
Pada
QS al-Ahzȃb/33:72[8],
Allah berfirman:
“Sesungguhnya kami Telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi
dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka
khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”
Dalam
hal kenegaraan amanah merupakan inti dari roda pemerintahan. Negara yang baik
adalah negara yang berani berbuat jujur untuk rakyatnya. Amanah dalam bahasa
lain di saat ini adalah mentaati semua peraturan yang berkaitan dengan
undang-undang negara tersebut dalam semua hal terutama menjalankan peraturan
untuk tidak melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme di tubuh pemerintahnnya
serta tidak melanggar HAM dan peraturan lain demi kepentingan bangsa dan
negara.
Dalam
al-Qur’ȃn ditemukan banyak kata al-Amȋn/ amȋn. Ia adalah kata yang sering disandȃr kan dengan
kalimat sebelumnya. Didalam al-Qur`ân ditemukan kata al-amȋn yang diawali
dengan kata rosȗl, nasȋbu, ar-ruh, qowiyyun,
maqȏmun dan al-balad.
Kalimat
Rosȗlun amȋn disebutkan dalam al-Qur`ân
sebanyak enam ayat, yaitu QS As-Syua’arȃ/26:107[11],
QS As-Syua’rȃ/26:107, 125, 143, 162, QS ad-Dukhȏn/ 44:18[12].
Begitu
juga kalimat Nasȋbun amȋn (QS al-‘Arȃf/
7:68) menerangkan bahwa dia hanya menyampaikan perintah-perintah Tuhannya agar
meraka beriman kepada-Nya, kepada hari kemudian, kepada rosul-rosul, kepada
malaikat-malaikat Allah, kepada adanya surga dan neraka.[13]
Kalimat
Ar-rȗhul amȋn juga terdapat pada QS
as-Syu’arȃ/26:193.[14]
sedangkan al-Qowiyyul amȋn diberikan
kepada nabi Musa (QS al-Qashash/28:26).[15]
Kemudian
terdapat juga kalimat Maqȏmun amȋn
(QS ad-Dukhȃn/ 44:51). Maqam amin
adalah tempat yang aman.[16],
juga kalimat al-balad al-amȋn (QS
95:3). Al-balad al-amȋn adalah Mekah
tempat kelahiran Nabi Muhammad.
Dari beberapa penyandaran kata al-Amin
dengan kata yang lainnya, menurut penulis bahwa kepercayaan, amanah,
kredibilitas itu harus benar-benar menempel kepada setiap bagian, elemen
terpenting bagi sisi kehidupan, apalagi yang menyangkut hubungan sosial
politik, keagamaan dan kepemimpinan.
baca juga :
https://darulfawwazin.blogspot.com/2020/04/penerapan-syariat-agama-dalam-negara.html
https://darulfawwazin.blogspot.com/2020/04/kritik-terhadap-penafsiran-jahiliyyah.html
https://darulfawwazin.blogspot.com/2020/04/kritik-terhadap-penafsiran-jahiliyyah.html
[4] Abu Abdillah
Ahmad bin Muhammad bin Hambal bin Hilȃl bin Asad
as-Syȋbani, Musnad Ahmad, (T.tp.: Muassasah al-Risȃlah, 2001), bab
Musnad Abu Hurairah, juz 14, no. 8685, h. 314.
[5] Ay-Yagulla
arti kata dasarnya adalah mengambil sesuatu dengan cara sembunyi-sembunyi Departemen Agama RI,
Al-Qur’ȃn dan Tafsirnya, Vol. II, h. 69. Ayat ini menjelaskan bahwa tidak mungkin Rosulullah saw berbuat
khianat mengambil barang ghanimah (rampasan dalam peperangan). Hal ini
bertentangan dengan sifat-sifat kemaksuman Nabi (terpeliharanya dȃr i
perbuatan tercela), akhlaknya yang tinggi yang menjadi contoh utama.
Barangsiapa berbuat khianat serupa itu maka ia pada hari kiamat akan datang
membawa barang hasil pengkhianatannya dan tidak akan disembunyikannya. Departemen Agama RI,
Al-Qur’ȃn dan Tafsirnya, Vol. II, h.7.
[8] Ayat ini
menjelaskan bahwa Allah kaum muslimin agar mereka tidak mengkhianati Allah dan
Rosul-Nya, yaitu mengabaikan kewajiban-kewajiban yang harus mereka laksanakan,
melanggar larangan-larangan-Nya, yang telah ditentukan dengan perantara wahyu.
Tidak mengkhianati amanat yang telah dipercayakan kepada mereka. Departemen Agama RI,
Al-Qur’ȃn dan Tafsirnya, Vol. III, h. 603.
[9] Sayyid Quṯb, Fȋ
Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Jilid. V, h. 2884.
[10] Ayat ini
menjelaskan tentang memelihara amanat-amanat yang dipikulnya dan menepati
janjinya. Dalam ayat ini Allah menerangkan sifat keenam dari orang mukmin yang
beruntung itu, ialah suka memelihara amanat-amanat yng dipikulnya baik dȃr i
Allah ataupun dȃr i sesama manusia. Departemen
Agama RI, Al-Qur’ȃn dan Tafsirnya, Vol. VI , h.473.
[11] Pada QS
as-Syua’ara/26:107 ini menjelaskan bahwa Nabi Nuh memberitahu kaumnya bahwa ia
adalah seorang rosul Allah yang di utus kepada mereka. Dia dipercaya untuk
menyampaikan perintah dan larangan Allah, tanpa menambah atau mengurangi
sedikit pun. Departemen Agama
RI, Al-Qur’ȃn dan Tafsirnya, Vol. VII, h.110.
[12] Pada QS Ad-Dukhon/ 44:18 menjelaskan tentang
perkataan Nabi Musa kepada Fir’aun, Aku ini adalah Rosulullah yang telah
dipercayakan untuk menyampaikan wahyu-Nya dan memperingatkan kepada kamu
sekalian tentang siksaan-Nya apabila kamu sekalian mendurhakai-Nya. Departemen Agama RI,
Al-Qur’ȃn dan Tafsirnya, Vol. IX, h.166.
[14] Ruhul Amin diartikan dengan malaikat
Jibril yang bertugas membawakan wahyu kepada Nabi Muhammad. Begitu juga
terdapat kalimat Qowiyyun amin pada
(QS An-Naml/ 27:39) menjelaskan bahwa aku benar-benar sanggup melaksanakannya
dan kesanggupanku itu dibuktikan. “yang dimaksud dengan “sebelum kamu berdiri
dȃr i tempat dudukmu” ialah sebelum Sulaiman meninggalkan tempat itu. Beliau
biasanya meninggalkan tempat itu sebelum tengah hari.Departemen Agama RI, Al-Qur’ȃn dan
Tafsirnya, Vol. VII, h. 209.
[15] Al-Qowi Al-Amin adalah Nabi Musa. ayat ini menjelaskan tentang orang tua yang
tidak memiliki anak laki-laki dan tidak mempunyai pembantu. Putrinya
mengusulkan kepada bapaknya agar mengangkat Musa sebagai pembantu mereka
menggembala kambing, mengambil air, dan sebagainya karena dia seorang yang
jujur, dapat dipercaya, dan kuat tenaganya Departemen Agama RI, Al-Qur’ȃn dan Tafsirnya, Vol. VII, 284.