M. Abu Zahroh menjelaskan tentang kecenderungan pemikiran manusia
yang tidak terlepas dari 4 faktor: alamiyah, guru, interaksi sosial, trend
pemikiran.[1]
atau dalam bahasa lain juga dikatakan bahwa ada keterkaitan erat antara
cara-cara berfikir dan historisitas seseorang sepanjang hidupnya, sehingga
untuk mengkaji seorang tokoh, menurut Ali Syari’ati sebagaimana yang
dikemukakan oleh Akh. Minhaji.[2]
Ada
beberapa tokoh pemikir Islam yang dianggap mempengaruhi pemikiran Sayyid Quthb
dan berimplikasi terhadap pernyataan-pernyataan serta sikap-sikap yang diambil
dan diperlihatkannya di kemudian hari. Beberapa tokoh pemikir Islam yang
dimaksud antara lain: Ibnu Taimiyah, Muhammad Rasyid Ridha, Abul A’la
Al-Maududi dan Hasan Al-Banna.[3]
Sebelum menjelaskan tentang sikap politiknya, Quṯb memulai dari
melihat persoalan politik yang sudah berkembang terutama di Mesir. Menurutnya kehidupan
dunia sekarang berada dalam kondisi “jahiliyyah”.[4] Kondisi
jahiliyyah ini muncul karena telah melampau batas dasar-dasar kedaulatan Allah
di bumi yaitu al-hakimiyyah. Tidak
hanya seperti masyarakat jahiliyyah awal, bahkan “jahiliyyah modern”[5]
ini lebih buruk lagi. Semua sendi kehidupan menggambarkan kejahiliyahan yaitu
pemikiran dan seni, konstitusi dan perundang-undangan, budaya dan pemerintahan
jauh dari manhaj Allah dalam prakteknya.[6]
Ketika kita
bertanya, siapa saja yang tergolong masyarakat jahiliyyah ini? Quṯb
menjelaskan bahwa mereka adalah semua masyarakat yang selain masyarakat muslim.
Dengan demikian, semua masyarakat di muka bumi adalah masyarakat jahiliyyah,
termasuk juga masyarakat Yahudi dan Nasrani dan mereka yang mengaku muslim
tetapi tidak menjalankan manhaj Islam.[7]
Sayyid Quṯb menekankan bahwa jahiliyah bukanlah suatu masa yang
telah lewat yang tidak akan terulang lagi tetapi lebih merupakan suatu keadaan
yang ada pada suatu masyarakat atau individu. Keadaan ini tidak hanya terdapat pada orang
yang beragama di luar Islam, tetapi bahkan pada orang yang beragama Islam pun
mungkin saja ada.[8]
Apa yang Sayyid Quṯb kemukakan mungkin
dapat ditelusuri pada latar belakang kehidupan dan aktivitasnya yang terus
menerus berada dalam tekanan. Tak dapat disangkal bahwa hasil pemikiran
seseorang dipengaruhi tidak saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh
disiplin ilmu yang ditekuninya, pengalaman, kondisi sosial, politik, dan
sebagainya.[9]
Menurut Abdul Bari, pendapat Sayyid Quṯb bahwa jahiliyah merupakan suatu keadaan atau kondisi mungkin timbul dari pengalaman
pribadinya dan kenyataan yang ia alami bahwa apa yang dahulu ada pada
masyarakat sebelum datangnya Islam berupa perilaku maupun keyakinan yang tidak
sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam ternyata saat ini pun masih tetap ada
dengan bentuk yang berbagai macam, bahkan oleh orang yang menganut agama Islam
itu sendiri.[10]
Sayyid Quṯb berpendapat bahwa kelompok yang menentang Islamisasi
masyarakat dan negara, terutama mereka yang dianggap pemimpin muslim, harus
diperlakukan layaknya kaum jahiliyyah (pagan, kafir, murtad), sehingga
dibolehkan untuk melakukan kekerasan demi melawan rezim yang berkuasa.[11]
Dengan
pendiriannya yang tegas dan terkesan ekstrim inilah Sayyid Quṯb mendapatkan
banyak kritikan dan kecaman, baik dari kalangan muslim sendiri maupun
non-muslim.[12]
Kritikan dan kecaman yang menurut para pembelanya timbul akibat kesalahan dalam
memahami pemikiran Sayyid Quṯb. Bahkan, yang lebih parah lagi, pernyataan
Sayyid Quṯb dijadikan landasan oleh sebagian orang untuk mengkafirkan orang
Islam yang tidak sepaham dengan mereka.[13]
Pemikiran Quṯb yang paling radikal adalah menegaskan bahwa dimana
ditemukan masyarakat muslim, yang menyerupai di dalamnya manhaj Allah, maka
Allah memberikan hak untuk bergerak dan maju untuk menyelamatkan atau mengambil
kekuasaan dan menentukan pemerintahan.[14]
Pemahaman kalimat diatas dimanfaatkan oleh kalangan atau sempalan
muslim yang mengganggap bahwa mengambil kekuasaan dari negara yang sah adalah
sah. Hal ini banyak ditemukan di beberapa negara mayoritas muslim yang dengan
semangat jihadnya melegalkan sisi-sisi yang bertententangan dengan Islam.
baca juga :
[1] Pertama, faktor alamiyah karunia Tuhan,
seperti kekuatan analisis, hafalan, kemampuan berfikir rasional, kefasehan dan
sejenisnya. Kedua, faktor guru-guru
yang banyak mempengaruhi keilmuannya. Ketiga,
interaksi seseorang dengan kelompok dan majelis tertentu. Keempat, trend pemikiran yang berkembang pada masa kehidupan
seseorang tersebut Lihat M.Abu Zahroh, Asy-Syafi’i
: Hayȃtuhu wa ‘Asruhu, Arȃ’uhu wa Fiqhuhu (Kairo: Dȃr al-Fikr al-Arabi, 1948), h. 32-33.
[2]
Akh. Minhaji, Wawasan Islam tentang Negara dan Pemerintahan,(Perspektif
Normatif- Empiris), Sebuah Pengantar, dalam Kamaruzzaman, Relasi Islam dan
Negara Perspektif Modernisdan Fundamentalis (Magelang: Indonesia Tera,
2001), h. xxv.
[3] Abdul Hafidz menjelaskan bahwa ketaatan
kepada penguasa dipredikatkan pada perintahnya tentang apa yang adil dan sah
menurut hukum. Para tiran dan mereka yang mengabaikan syari’ah, meskipun mereka
mengemukakan dua formula keimanan (syahadatain) harus diperangi dan tidak ditaati
sebagai kewajiban keagamaan Formulasi dari Ibnu Taimiyyah tersebut, kemudian
digunakan serta menjadi salah satu titik rujukan berfikir bagi Sayyid Quṯb.
Rasyid Ridha telah berhasil merumuskan tradisi dan merancang gagasan dasar dari
para penganjur negara Islam yang belakangan. Rasyid Ridha merupakan penghubung
yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dan gagasan mengenai
negara Islam pada abad ke-20 yang dikembangkan oleh Sayyid Quṯb. Pada
prinsipnya Maududi berpandangan dan menjelaskan bahwa hanya Allah Swt yang
berdaulat, tidak ada seorang pun, bahkan seluruh penduduk Negara secara
keseluruhan, dapat menggugat kedaulatan Allah Swt. Allah Swt merupakan pemberi
hukum sejati dan wewenang mutlak legislasi ada pada-Nya. Suatu Negara Islam
dalam segala hal haruslah didirikan berlandaskan hukum yang telah diturunkan
Allah Swt (syari’ah) kepada manusia melalui Rasulullah Saw. Sayyid Quṯb
dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Hasan Al-Banna, dengan Ideologi
“revolusioner” nya. Dengan dasar ideologi inilah, Sayyid Quṯb kemudian
menindaklanjutinya dengan metode yang cenderung lebih maju dan berkembang
menuju kepada tataran praktis dengan karakternya tersendiri, yakni bersifat
militan dan fundamentalis. Abdul Hafid, Pemikiran Politik Sayyid Quṯb,
Analisis Tafsir atas karya Tulis Sayyid Quṯb (Tesis S2 pada program
Sarjana Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2005), h. 66-72.
[4]
Term Jahiliah secara bahasa berarti kebodohan. Lihat
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer (Yogyakarta: Yayasan Ali
Maksum, 1996), h. 648. Ahmad Amin menjelaskan bahwa arti dari jahiliah adalah kesombongan, kemarahan, dan
ketidaktahuan. Penggunaan term ini kepada
masa pra Islam menunjukkan pada masa itu hal-hal yang menonjol di
kalangan masyarakat adalah nilai-nilai kesombongan, kebanggaan, dan
ketidaktahuan. Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm (Singapura: Sulaiman Mar’i, 1965),
h. 70.
[5] Salah satu doktin utama dalam fundamentalisme
Islam Quṯb yang selanjutnyan dianut ikwan mulim adalah “jahiliyyah moderen”
ini yaitu modernitas sebagai “barbaritas baru‟. Konsep ini pertama kali di
kembangkan oleh al-Maududi. Kosep jahiliyyah ini kemudian sangat berkembang
ketika Abu al-Hasan Ali al-Nadvi menulis pada tahun 1950 dalam karyanya madzȃ
khasirah al-‘ȃlam binhiṯaṯ al-Muslimȋn (kerugian apa yang diderita dunia
akibat kemunduran Islam). Ia menjelaskan perjalanan Islam secara historis sejak
kebangkitan, kejayaan dan kemunduran. Menurutnya kaum muslim mulai mengalami
dekadensi sosial dan moral sejak masa “Ustmani‟ khususnya ketika dinasti ini
mulai mengambil alih gagasan dan institusi Eropa dalam upaya modernisasinya.
Padahal kebudayaan Barat secara keseluruhan bersifat pagan dan materialistik
(jahiliyyah-maddiyah). Lihat Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari
Fundamentalis, Modernis Hingga Post Modernis, h. 118. Dan Lihat Sayyid Quṯb, Ma’ȃlim fi al-Ṯarȋq (Kairo: Dȃr
As-Syurȗq,1979), h. 8.
[6] Sayyid Quṯb, Ma’ȃlim fi al-Ṯariq, h. 8.
[7] Sayyid Quṯb, Ma’ȃlim fi al-Ṯarȋq, h. 88-91.
[8] Sayyid Quṯb,
Fî Ẕilâl al-Qur’ân, Jilid. VI, h. 904.
[9]
Quraish Shihab,
Membumikan al-Qur’an, h. 77.
[10]
Abdul Bari, "Jahiliyyah dalam al-Qur’ȃn"
(Tesis S2 Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 103.
[11] Antony Black, Pemikiran
Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, alih bahasa:, Pemikiran Politik Islam, h. 578.
[12] Lihat Abdul Bari, "Jahiliyyah dalam al-Qur’ȃn" (Tesis S2
Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2005), h. 10.
[13]
Lihat K. Salim
Bahnasawi, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb; menuju Pembaruan Gerakan
Islam, terj. Abdul Hayyie al-Kattani et. all, (Jakarta: Gema Insani Press,
2003), h. 32. Buku ini sendiri merupakan apologi atas pemikiran-pemikiran
Sayyid yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam seperti mengkafirkan orang
lain di luar golongannya.
[14] Sayyid Quṯb, Ma’alim fi al-Ṯariq, h. 82.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar