Rabu, 15 April 2020

Kritik terhadap penafsiran Jahiliyyah Sayyid Quṯb.

M. Abu Zahroh menjelaskan tentang kecenderungan pemikiran manusia yang tidak terlepas dari 4 faktor: alamiyah, guru, interaksi sosial, trend pemikiran.[1] atau dalam bahasa lain juga dikatakan bahwa ada keterkaitan erat antara cara-cara berfikir dan historisitas seseorang sepanjang hidupnya, sehingga untuk mengkaji seorang tokoh, menurut Ali Syari’ati sebagaimana yang dikemukakan oleh Akh. Minhaji.[2]
Ada beberapa tokoh pemikir Islam yang dianggap mempengaruhi pemikiran Sayyid Quthb dan berimplikasi terhadap pernyataan-pernyataan serta sikap-sikap yang diambil dan diperlihatkannya di kemudian hari. Beberapa tokoh pemikir Islam yang dimaksud antara lain: Ibnu Taimiyah, Muhammad Rasyid Ridha, Abul A’la Al-Maududi dan Hasan Al-Banna.[3]
Sebelum menjelaskan tentang sikap politiknya, Quṯb memulai dari melihat persoalan politik yang sudah berkembang terutama di Mesir. Menurutnya kehidupan dunia sekarang berada dalam kondisi “jahiliyyah”.[4] Kondisi jahiliyyah ini muncul karena telah melampau batas dasar-dasar kedaulatan Allah di bumi yaitu al-hakimiyyah. Tidak hanya seperti masyarakat jahiliyyah awal, bahkan “jahiliyyah modern”[5] ini lebih buruk lagi. Semua sendi kehidupan menggambarkan kejahiliyahan yaitu pemikiran dan seni, konstitusi dan perundang-undangan, budaya dan pemerintahan jauh dari manhaj Allah dalam prakteknya.[6]
Ketika kita bertanya, siapa saja yang tergolong masyarakat jahiliyyah ini? Quṯb menjelaskan bahwa mereka adalah semua masyarakat yang selain masyarakat muslim. Dengan demikian, semua masyarakat di muka bumi adalah masyarakat jahiliyyah, termasuk juga masyarakat Yahudi dan Nasrani dan mereka yang mengaku muslim tetapi tidak menjalankan manhaj Islam.[7]
Sayyid Quṯb menekankan bahwa jahiliyah bukanlah suatu masa yang telah lewat yang tidak akan terulang lagi tetapi lebih merupakan suatu keadaan yang ada pada suatu masyarakat atau individu. Keadaan ini tidak hanya terdapat pada orang yang beragama di luar Islam, tetapi bahkan pada orang yang beragama Islam pun mungkin saja ada.[8]
Apa yang Sayyid Quṯb kemukakan mungkin dapat ditelusuri pada latar belakang kehidupan dan aktivitasnya yang terus menerus berada dalam tekanan. Tak dapat disangkal bahwa hasil pemikiran seseorang dipengaruhi tidak saja oleh tingkat kecerdasannya, tetapi juga oleh disiplin ilmu yang ditekuninya, pengalaman, kondisi sosial, politik, dan sebagainya.[9]
Menurut Abdul Bari, pendapat Sayyid Quṯb bahwa jahiliyah merupakan suatu keadaan atau kondisi mungkin timbul dari pengalaman pribadinya dan kenyataan yang ia alami bahwa apa yang dahulu ada pada masyarakat sebelum datangnya Islam berupa perilaku maupun keyakinan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam ternyata saat ini pun masih tetap ada dengan bentuk yang berbagai macam, bahkan oleh orang yang menganut agama Islam itu sendiri.[10]
 Sayyid Quṯb berpendapat bahwa kelompok yang menentang Islamisasi masyarakat dan negara, terutama mereka yang dianggap pemimpin muslim, harus diperlakukan layaknya kaum jahiliyyah (pagan, kafir, murtad), sehingga dibolehkan untuk melakukan kekerasan demi melawan rezim yang berkuasa.[11]
Dengan pendiriannya yang tegas dan terkesan ekstrim inilah Sayyid Quṯb mendapatkan banyak kritikan dan kecaman, baik dari kalangan muslim sendiri maupun non-muslim.[12] Kritikan dan kecaman yang menurut para pembelanya timbul akibat kesalahan dalam memahami pemikiran Sayyid Quṯb. Bahkan, yang lebih parah lagi, pernyataan Sayyid Quṯb dijadikan landasan oleh sebagian orang untuk mengkafirkan orang Islam yang tidak sepaham dengan mereka.[13]
Pemikiran Quṯb yang paling radikal adalah menegaskan bahwa dimana ditemukan masyarakat muslim, yang menyerupai di dalamnya manhaj Allah, maka Allah memberikan hak untuk bergerak dan maju untuk menyelamatkan atau mengambil kekuasaan dan menentukan pemerintahan.[14]





[1] Pertama, faktor alamiyah karunia Tuhan, seperti kekuatan analisis, hafalan, kemampuan berfikir rasional, kefasehan dan sejenisnya. Kedua, faktor guru-guru yang banyak mempengaruhi keilmuannya. Ketiga, interaksi seseorang dengan kelompok dan majelis tertentu. Keempat, trend pemikiran yang berkembang pada masa kehidupan seseorang tersebut Lihat M.Abu Zahroh, Asy-Syafi’i : Hayȃtuhu wa ‘Asruhu, Arȃ’uhu wa Fiqhuhu (Kairo: Dȃr  al-Fikr al-Arabi, 1948), h. 32-33.
[2] Akh. Minhaji, Wawasan Islam tentang Negara dan Pemerintahan,(Perspektif Normatif- Empiris), Sebuah Pengantar, dalam Kamaruzzaman, Relasi Islam dan Negara Perspektif Modernisdan Fundamentalis (Magelang: Indonesia Tera, 2001), h. xxv.
[3]  Abdul Hafidz menjelaskan bahwa ketaatan kepada penguasa dipredikatkan pada perintahnya tentang apa yang adil dan sah menurut hukum. Para tiran dan mereka yang mengabaikan syari’ah, meskipun mereka mengemukakan dua formula keimanan (syahadatain) harus diperangi dan tidak ditaati sebagai kewajiban keagamaan Formulasi dari Ibnu Taimiyyah tersebut, kemudian digunakan serta menjadi salah satu titik rujukan berfikir bagi Sayyid Quṯb. Rasyid Ridha telah berhasil merumuskan tradisi dan merancang gagasan dasar dari para penganjur negara Islam yang belakangan. Rasyid Ridha merupakan penghubung yang penting antara teori klasik tentang kekhalifahan dan gagasan mengenai negara Islam pada abad ke-20 yang dikembangkan oleh Sayyid Quṯb. Pada prinsipnya Maududi berpandangan dan menjelaskan bahwa hanya Allah Swt yang berdaulat, tidak ada seorang pun, bahkan seluruh penduduk Negara secara keseluruhan, dapat menggugat kedaulatan Allah Swt. Allah Swt merupakan pemberi hukum sejati dan wewenang mutlak legislasi ada pada-Nya. Suatu Negara Islam dalam segala hal haruslah didirikan berlandaskan hukum yang telah diturunkan Allah Swt (syari’ah) kepada manusia melalui Rasulullah Saw. Sayyid Quṯb dipengaruhi oleh pandangan-pandangan Hasan Al-Banna, dengan Ideologi “revolusioner” nya. Dengan dasar ideologi inilah, Sayyid Quṯb kemudian menindaklanjutinya dengan metode yang cenderung lebih maju dan berkembang menuju kepada tataran praktis dengan karakternya tersendiri, yakni bersifat militan dan fundamentalis. Abdul Hafid, Pemikiran Politik Sayyid Quṯb, Analisis Tafsir atas karya Tulis Sayyid Quṯb (Tesis S2 pada program Sarjana Ilmu Politik Universitas Hasanuddin Makassar tahun 2005), h. 66-72.
[4]  Term Jahiliah secara bahasa berarti kebodohan. Lihat Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdor, Kamus Kontemporer (Yogyakarta: Yayasan Ali Maksum, 1996), h. 648. Ahmad Amin menjelaskan bahwa arti dari jahiliah  adalah kesombongan, kemarahan, dan ketidaktahuan. Penggunaan term ini kepada  masa pra Islam menunjukkan pada masa itu hal-hal yang menonjol di kalangan masyarakat adalah nilai-nilai kesombongan, kebanggaan, dan ketidaktahuan. Ahmad Amîn, Fajr al-Islâm (Singapura: Sulaiman Mar’i, 1965), h. 70.
[5]  Salah satu doktin utama dalam fundamentalisme Islam Quṯb yang selanjutnyan dianut ikwan mulim adalah “jahiliyyah moderen” ini yaitu modernitas sebagai “barbaritas baru‟. Konsep ini pertama kali di kembangkan oleh al-Maududi. Kosep jahiliyyah ini kemudian sangat berkembang ketika Abu al-Hasan Ali al-Nadvi menulis pada tahun 1950 dalam karyanya madzȃ khasirah al-‘ȃlam binhiṯaṯ al-Muslimȋn (kerugian apa yang diderita dunia akibat kemunduran Islam). Ia menjelaskan perjalanan Islam secara historis sejak kebangkitan, kejayaan dan kemunduran. Menurutnya kaum muslim mulai mengalami dekadensi sosial dan moral sejak masa “Ustmani‟ khususnya ketika dinasti ini mulai mengambil alih gagasan dan institusi Eropa dalam upaya modernisasinya. Padahal kebudayaan Barat secara keseluruhan bersifat pagan dan materialistik (jahiliyyah-maddiyah). Lihat Azumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalis, Modernis Hingga Post Modernis, h. 118. Dan Lihat Sayyid Quṯb, Ma’ȃlim fi al-Ṯarȋq (Kairo: Dȃr  As-Syurȗq,1979), h. 8.
[6]  Sayyid Quṯb, Ma’ȃlim fi al-Ṯariq, h. 8.
[7] Sayyid Quṯb, Ma’ȃlim fi al-Ṯarȋq, h. 88-91.
[8]  Sayyid Quṯb, Fî Ẕilâl al-Qur’ân, Jilid. VI, h. 904.
[9]  Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, h. 77.
[10]  Abdul Bari, "Jahiliyyah dalam al-Qur’ȃn" (Tesis S2 Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2005), h. 103.
[11] Antony Black, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini, alih bahasa:, Pemikiran Politik Islam, h. 578.
[12]  Lihat Abdul Bari, "Jahiliyyah dalam al-Qur’ȃn"  (Tesis S2 Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2005), h. 10.
[13] Lihat K. Salim Bahnasawi, Butir-butir Pemikiran Sayyid Quthb; menuju Pembaruan Gerakan Islam, terj. Abdul Hayyie al-Kattani et. all, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 32. Buku ini sendiri merupakan apologi atas pemikiran-pemikiran Sayyid yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam seperti mengkafirkan orang lain di luar golongannya.
[14]  Sayyid Quṯb, Ma’alim fi al-Ṯariq, h. 82.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

implementasi Amanah dalam kehidpan berbangsa dan bernegara

Dalam a l-Qur`ân secara ekplisit menyebut amȃnah sebanyak enam ayat dengan kategori mufrad (tunggal), dan jamak nya, yaitu pada Q...