Politik kenegaraan merupakan
sarana untuk menciptakan masyarakat yang lebih sempurna, karena di dalam
manajemen politik terdapat bagaimana cara untuk menyusun sistem politik[1]
masyarakat yang lebih ideal dan elegan.
Untuk menciptakan
interpretasi al-Qur’ân yang sesuai dengan perkembangan zaman, maka sepatutnya
memperhatikan dan megkomparasikan nilai-nilai dasar al-Qur’ân dengan konsep
perpolitikan yang berkembang pada saat ini.
Menurut
Abdul Munir Salim, kata Politik berasal dari kata politic yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan.
Secara leksikal, kata asal tersebut berarti acting or judging wisely, well
judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus dan
Bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a citizen.
Kedua kata tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city
“kota”.[2]
Bagi
Quraish Shihab, kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau
Latin politicos atau politõcus yang berarti berhubungan berkaitaan dengan
masyarakat. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Kamus Besar
Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai "segala urusan dan
tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai
pemerintahan
negara atau terhadap negara lain." Juga dalam arti "kebijakan, cara
bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah)."[3]
Politik kenegaraan yang
dikutip Abdul Muin Salim merupakan istilah yang
dipergunakan untuk konsep pengaturan dalam masyarakat, membahas soal-soal yang
berkenaan dengan masalah, bagaimana sebuah pemerintah dijalankan dan dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya, agar terwujud masyarakat atau negara yang paling baik.
Dengan demikian, politik itu mengandung berbagai unsur-unsur aktivitas
pemerintah, masyarakat, dan hukum-hukum yang menjadi sarana pengaturan dalam
negara.[4]
Dalam
kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata
siyâsah. Kata ini terambil dari akar kata sâsa-yasûsu
yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari
akar kata yang sama ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman, kutu,
atau rusak.[5]
Menurut
Qurasih Shihab, dalam al-Qur’ân tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar
kata sâsa-yasûsu, namun ini bukan berarti bahwa al-Qur’ân
tidak menguraikan soal politik. Sekian banyak ulama al-Qur’ân yang menyusun
karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan al-Qur’ân dan sunnah Nabi
sebagai rujukan. Bahkan Ibnu Taimiyah menamai salah satu karya ilmiahnya dengan
As-siyâsah Asy-Syar'iyah (Politik Keagamaan).[6]
Menurut Ahmad
Asy-Syirbȃsyȋ, dalam interpretasi perpolitikan
pada masa Islam, tidak menafikan sedikit adanya
korelasi ayat-ayat al-Qur’ân dengan ide-ide politik, hal ini menjadikan
ayat tersebut kian marak ditafsirkan oleh berbagai macam aliran dan ideologi
yang berbeda, sehingga memunculkan hasil yang berbeda pula.[7]
Di kalangan ahli tafsir
juga terdapat kecenderungan untuk berbicara dalam lapangan politik yang
berkaitan dengan konsep kenegaraan dalam Islam. Ibn Jarîr at-Tabari dalam
Tafsir at-Tabari misalnya banyak berbicara tentang kepala negara dalam
kaitannya dengan kesejahteraan rakyat.[8]
Mufassir lain adalah
Abu Qâsim Muhammad ibn ‘Umar az-Zamakhsyari dalam Tafsȋr al-Kasysyâf. Dia
banyak menguraikan tentang negara moral dalam kaitannya dengan eksistensi imȃmah
dalam menolak kezaliman.[9]
Selanjutnya adalah Abu
‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad al-Qurṯubi dalam Tafsȋr al-Qurṯubi yang banyak
berbicara tentang imâmah dalam konteks hukum fiqh.[10]
Berikutnya Abu al-Fidâ Isma’ȋl ibn Katsȋr ad-Dimasyqi dalam Tafsȋr Ibn Katsîr
yang banyak mengupas tentang konsep imamah dengan argumentasi rasional.[11]
Menurut Quṯb, hukum
al-Qur’ân harus dijadikan landasan bagi berlangsungnya kehidupan dalam negara.
al-Qur’ân diturunkan untuk melakukan perombakan dan perubahan terhadap umat
manusia secara totalitas. Karena al-Qur’ân mengandung undang-undang atau
konsep-konsep secara global, memiliki ruh pembangkit, dan berfungsi sebagai
penguat, penjaga dan penjelas.[12]
Bagi Quṯb al-Qur’ân
merupakan sumber dari segala sumber. Dalam menafsirkan kenegaraan Quṯb tidak
luput dari mengutip ayat al-Qur’ân yang kemudian dijadikan
sebagai argumentasi dan penafsiran terhadap relaita kemasyarakat bernegara.
Sayyid Quṯb memberikan solusi
dengan menyodorkan Islam[13]
sebagai satu-satunya ideologi yang Shôlih li kulli zaman wal makân,
menurutnya Islam mempunyai jawaban untuk segala problem sosial dan politik,
selain itu islam juga memiliki konsep untuk menciptakan masyarakat yang harmonis.[14]
Menurut Esposito,
interpretasi ayat-ayat al-Qur’ân berkaitan dengan kenegaraan memang seharusnya
dijadikan sebagai landasan yang ideal dalam menata kembali tatanan negara Islam
sesuai dengan al-Qur’ân.
Al-Qur’ân merupakan
kitab suci umat islam yang didalamnya mengandung kalimat-kalimat yang berkaitan
dengan konsep kenegaraan yang di bangun oleh manusia selama ini.
Islam adalah agama yang
didalamnya mengandung ajaran-ajaran komprehensif dan universal. Di dalam al-Qur’ân terdapat term
yang menyebutkan tentang istilah-istilah yang dijadikan sebagai dasar negara,
tetapi dari beberapa ayat-ayat yang termaktub di dalam al-Qur’ân itu sendiri
kurang begitu dikembangkan oleh ilmuan muslim, sehingga yang ada hanyalah
konsep lama yang kurang bersentuhan dengan perkembangan politik kenegaraan modern.
Di dalam al-Qur’ân
ditemukan pembagian kenegaraan tentang syûrâ[15]
(permusyawarahan), ulû al-amrî (pemimpin negara), al-‘adl[16]
(keadilan), al-mulk[17]
(kedaulatan), ad-dawlaẖ (negara), as-sulṯah[18]
(kekuasaan), al-amr bi al-ma‘rûf wa an-nahy ‘an al-munkar (QS. Al-Imrān/3: 104), al-qaḏhâ’/sistem
peradilan (QS.
Al-Mu’minun/23:20), ahl al-hill wa
al-‘aqd[19],
(lembaga permusyawaratan), al-ẖukm[20]
(pemerintahan, hukum), al-ukhûwwâh (persaudaraan), al-ummah[21]
(bangsa, ummat) al-musâwâmah (persamaan), asy-syu‘ûb[22]
(rakyat), al-qabâ’il/ suku bangsa (QS. Al-Hujurat/49: 13),
hubungan antar umat dari berbagai agama.
Jika ditelusuri
terhadap kajian tafsir klasik dan modern saat ini, tema yang mengangkat tentang
penafsiran politik kenegaraan yang murni amat sangat jarang ditemukan, padahal
di dalam al-Qur’ân sendiri menyimpan beberapa kaidah-kaidah tentang
perpolitikan. Para mufasir klasik dan modern tidak ada yang menulis secara
penuh tentang tema-tema politik kenegaraan, hanya saja ada sebagian kecil yang
membahas tema yang berkaitan dengan fakta dan realitas dimana penulis berada. Menulis sebuah tafsir ayat-ayat sosial
politik dalam konteks modern merupakan sebuah terobosan besar.
Sayyid Quṯb merupakan
ilmuan muslim terkemuka yang berani mencoba menafsirkan ayat ayat al-Qur’ân ke
dalam kencah perpolitikan. Hal itu dilakukan seiring dengan suhu politik di negaranya yang memaksa dirinya
untuk dikucilkan dari dunia politik. Sayyid Quṯb dinilai sebagai mufassir yang
mampu untuk mengangkat tema-tema politik dan menafsirkannya kedalam penafsiran-penafsiran
yang bernuansa harakah Islamiyah sesuai dengan kapasitasnya sebagai da’i pada
gerakan sosial kemasyarakatan di Mesir yaitu Ikhwân Al-Muslimîn.
Penulis meyakini bahwa Quṯb[23]
mampu untuk menjelaskan tentang negara dalam Islam dan tertuangkan didalam
tafsirnya dan buku buku lain yang bersentuhan dengan ayat ayat kenegaraan. Sayyid
Quṯb adalah seorang negarawan di zamannya yang mampu menerobos pemikiran
politik sehingga dia mampu mewarnai sistem perpolitikan Islam. Dalam pembuatan
tesis ini penulis mengangkat tokoh yang dikenal kontroversial di mata
masyarakat barat dan Islam, dan tokoh ini terkesan dengan sikap konfrontatif
terhadap pemerintah pada masanya.
Dalam penulisan tesis
ini penulis tidak memiliki niat untuk membenturkan pemikiran dan penafsiran Sayyid Quṯb dengan realita masyarakay
sekarang secara umum dan bangsa Indonesia secara khusus. Kajian merupakan
kajian ilmiah semata untuk membandingkan beberapa konsep kenegaraan yang
dibangun oleh para pemikir lintas ideologi dan pemikiran. Upaya penulis ini
hanyalah mencari, menelusuri, dan meneliti kajian penafsiran Quṯb yang
tertuang di dalam buku tafsinya.
Pembahasan ini tidaklah
semata-mata menjadikan Quṯb sebagai satu-satunya tokoh dalam penafsiran ayat
ayat politik, tetapi yang ingin dianalisa dari pemikiran sayyid Quṯb adalah
penafsiran-penafsiran tentang konsep kenegaraan berdasarkan pemahamannya
terhadap al-Qur’ân dan ayat ayat politik.
Di Indonesia ditemukan karya Syu‘bah Asa[24]yang
merupakan tulisan tentang sosial politik. Dia menulis buku yang berjudul “Dalam
Cahaya al-Qur’ân, Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik. Dia adalah orang kedua di
Indonesia setelah Dawam Rahardjo[25]
dengan Ensiklopedi al-Qur’ân-nya dalam bidang penafsiran ayat-ayat sosial dan
politik.
Dalam membahas tentang
politik, tentunya penafsir harus menguasai tentang ilmu politik dan
perkembangan ilmunya serta menguasai metode tafsir al-Qur’ân yang telah di
bangun oleh ulama tafsir sendiri. Penafsiran yang telah dilakukan oleh ilmuan
muslim klasik dan modern tidak jauh dari problematika perpolitikan ketika itu.
Usaha penafsiran ini
merupakan sebuah jawaban atas apa yang telah dilakukan oleh pemerintah berkuasa
ketika itu, yaitu dengan berusaha menafsirkan tema-tema yang dimulai dari
realitas lapangan kemudian mencari solusinya pada al-Qur’ân yang dijadikan
sebagai penguat argumentasi penafsiran. Bahkan menjadikan al-Qur’ân itu
sendiri sebagai kitab yang didalamnya sebagai sistem, sumber, asal muasal
timbulnya negara.
baca juga :
[1]
Sistem politik adalah
konsepsi yang berisikan ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan
negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk
menentukan kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada
siapa pelaksanan kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung
jawabnya. Tafsir
al-Qur’ân Tematik, Al-Qur’ân dan Kernegaraan (Jakarta: Lajnah
Pentashihan al-Qur’ân 2011), h. 1.
[2]
Abdul Munȋr
Salim. Fiqh Siyâsah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’ân.
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) h, 34.
[3] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’ân, Tafsir Maudhȗ’I atas
Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Penerbit Mizan, 2003), h. 410. Politic kemudian diserap dalam bahasa Indonesia
dengan tiga arti, yaitu: Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan
sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain, tipu
muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah
disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik. W.J.S
Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka,
1983), h. 763.
[4]
Abdul Muin
Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qu’ran (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1994), h. 34.
[6]
Quraish Shihab,
Wawasan al-Qur’ân, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 410.
[7] Kajian tafsir siyȃsi haraki tidak terlepas dari dua aspek yaitu pertama
politisasi tafsir yaitu upaya seseorang baik itu individu ataupun kelompok
untuk menguasai serta menjustifikasi faham dan ideologi dan kedua penafsiran
ayat-ayat politik yaitu upaya seorang mufassir untuk menggali nilai-nilai
ataupun unsur-unsur politik dalam al-Qur’ân. Politisasi tafsir telah terjadi
pada masa klasik, dapat dikatakan jari-jari politik pada masa klasik telah
mengambil tempat tersendiri dalam memasuki tafsir al-Qur’ân al-karȋm seperti
contoh apa yang terjadi pada perdebatan dalam tahkim yang dilakukan oleh Ali
bin Abi Ṯ̑alib r.a. dengan umayyah yang disana menimbulkan beberapa golongan
antara lain Syȋ’ah yang setia dengan sayyidinȃ ̒Ali bin ̒Abi Ṯ̑alib serta
golongan khawarij yang menolak tahkȋm tersebut dan menanamkan benih kebencian
terhadap ̒Ali bin ̒Abi Ṯ̑alib. Lihat
Ahmad Asy-Syirbȃsyȋ, Sejarah Tafsȋr al-Qur’ân (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 2001), h. 149.
[8] Lihat
Abu Ja’far Muhammad ibn Jarȋr at-Tabari, Tafsȋr
al-Tabari (Beirut: Dȃr al-Fikr, 1978), h. 97.
[9]
Lihat Abu Qȃsim Jar Allah
Mahmȗd ibn ‘Umar al-Zamakhsyari, Tafsȋr
al-Kasysyȃf (Mesir: Musthafa al-Bȃbi al-Halabi, t.t.), juz 3, h. 372.
[10] Lihat
Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad al-Qurṯuby, al-Jami’ li Ahkȃm al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah,
1993), h. 273.
[11] Lihat
Abu Fida’ Ismȃ’il ibn Katsȋr ad-Dimasyqi, Tafsȋr
Ibn Katsȋr (Mesir: Dar Ihyȃ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), juz 4, h. 32.
[13] Bagi Quṯb agama ini adalah agama ilahi bagi
kehidupan manusia, yang diaplikasikan secara sempurna didalam kehidupan sesuai
dengan kadar kemampuan manusia, batas-batas realitas materi dan keadaaan. Dan
usaha merealisasikannya dimulai dari titik dimana manusia membebaskan dari
ikatan-ikatannya dan berjalan ke akhir perjalanan susuai batas kemapuan mereka.
Lihat juga Sayyid Quṯb, hadzȃ addȋn
(Kairo: Dȃr Syurȗq, 2001), h. 6.
[14] Esposito
(ed), Dinamika kebangunan Islam, Bakri Siregar (terj) (Jakarta: Jakarta
Press, 1997), h. 103.
[15] Kata syûrâ
dan akar katanya disebutkan 4 kali yaitu: QS. 3:159, 19:29, 42:38, 2:233.
[16] Disebutkan
sebanyak 25 kali. Faidullah
al-Hasani, al-Mu’jam al-Mufahras Li-alkalimȃt al-Qur’ân (Damaskus: Dar Ibnu
Katsir, 2005), h.212-213.
[17] Disebutkan
sebanyak 47 kali. Lihat Faidullah
al- Hasani, al-Mu’jam al-Mufahras
Li-alkalimȃt al-Qur’ân, h. 301.
[18] Di sebutkan di
dalam al-Qur’ân sebanyak 33 ayat. Lihat Faidullah
al- Hasani, al-Mu’jam al-Mufahras
Li-alkalimȃt al-Qur’ân, h. 158.
[19] Syu’bah asa
mendefinisikan mereka itu sebagai pejabat, hakim-hakim, ulama, para pemimpin
militer, dan semua pemuka yang menjadi rujukan orang untuk berbagai keperluan
mereka dan untuk kemasalahatan umum.
[20] Di dalam al-Qur’ân
kata hukm yang berbentuk fi`l, fa’il, isim masdār dan lain sebagainya
ditemukan sebanyak 129 ayat. Lihat Faidullah
al- Hasani, al-Mu’jam al-Mufahras
Li-alkalimȃt al-Qur’ân, h. 84-85.
[21] Kata Umat di
tulis 51 kali dalam al-Qur’ân. Lihat Faidullah
Al- Hasani, al-Mu’jam al-Mufahras
Li-alkalimȃt al-Qur’ân, h. 24-25.
[22] Di tulis
sebanyak 2 kali pada QS 49:13, 77:30. Lihat Faidullah Al- Hasani, al-Mu’jam al-Mufahras Li-alkalimȃt al-Qur’ân, h. 174.
[23] Jika
melihat tafsȋr Fî Ẕilâl al-Qur’ân, tehnik penafsiran yang dilakukan oleh
Sayyid Quṯb adalah interpretasi logis, karena dia melakukan penyimpulan dari
ayat sebagai hasil interaksinya dengan al-Qur’ân, seperti adanya ruh ibadah,
tauhid rububiyah dan uluhiyyah. Dan jika di lihat dari metode penafsirannya,
dia menerapkan metode tafsir taẖlili, karena dia melakukan penafsiran
ayat-ayat al-Qur’ân secara runtut mulai dari surah al-fȃtiẖaẖ sampai surah
an-Nâs. Lihat
Abun Bunyamin, Dinamika Tafsir Ijtimȃ’i Sayyid Quṯb, Purwakarta:
Taqaddum, 2012. h. 44-45.
[24] Syubah
Asa (lahir di Pekalongan, 21 Desember1941, ia meninggal
di Pekalongan, 24 Juli 2010 pada umur 68 tahun adalah seorang sastrawan dan wartawan senior Indonesia, dan
juga seniman. Ia
menyelesaikan pendidikan sarjana muda di IAIN Sunan KalijagaYogyakarta.
Menjadi redaktur TEMPO sejak 1971 hingga 1987 sebelum pindah ke Editor pada
1987 dan 1988 di Panji Masyarakat.
[25] Dawam Rahardjo adalah
salah seorang muslim Indonesia yang telah menafsirkan al-Qur’ân dengan metode
tafsir maudu’i, padahal dia seorang ahli ekonomi dan sosial keagamaan.
Jika dikaitkan dengan persyaratan untuk seseorang yang berhak menyandang gelar
mufasir, Dawam Rahardjo mengakui belum memenuhi persyaratan tersebut. Dawam
Rahardjo telah berhasil menafsirkan 27 tema dalam al-Qur’ân.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar