Selasa, 21 April 2020

Islam dan Kenegaraan



Politik kenegaraan merupakan sarana untuk menciptakan masyarakat yang lebih sempurna, karena di dalam manajemen politik terdapat bagaimana cara untuk menyusun sistem politik[1] masyarakat yang lebih ideal dan elegan.
Untuk menciptakan interpretasi al-Qur’ân yang sesuai dengan perkembangan zaman, maka sepatutnya memperhatikan dan megkomparasikan nilai-nilai dasar al-Qur’ân dengan konsep perpolitikan yang berkembang pada saat ini.
Menurut Abdul Munir Salim, kata Politik berasal dari kata politic  yang menunjukkan sifat pribadi atau perbuatan. Secara leksikal, kata asal tersebut berarti acting or judging wisely, well judged, prudent. Kata ini terambil dari kata Latin politicus dan Bahasa Yunani (Greek) politicos yang berarti relating to a citizen. Kedua kata tersebut juga berasal dari kata polis yang bermakna city “kota”.[2]
Bagi Quraish Shihab, kata politik pada mulanya terambil dari bahasa Yunani dan atau Latin politicos atau politõcus yang berarti berhubungan berkaitaan dengan masyarakat. Keduanya berasal dari kata polis yang berarti kota. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata politik sebagai "segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dan sebagainya) mengenai


pemerintahan negara atau terhadap negara lain." Juga dalam arti "kebijakan, cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani satu masalah)."[3]
Politik kenegaraan yang dikutip Abdul Muin Salim merupakan istilah yang dipergunakan untuk konsep pengaturan dalam masyarakat, membahas soal-soal yang berkenaan dengan masalah, bagaimana sebuah pemerintah dijalankan dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, agar terwujud masyarakat atau negara yang paling baik. Dengan demikian, politik itu mengandung berbagai unsur-unsur aktivitas pemerintah, masyarakat, dan hukum-hukum yang menjadi sarana pengaturan dalam negara.[4]
Dalam kamus-kamus bahasa Arab modern, kata politik biasanya diterjemahkan dengan kata siyâsah. Kata ini terambil dari akar kata sâsa-yasûsu yang biasa diartikan mengemudi, mengendalikan, mengatur, dan sebagainya. Dari akar kata yang sama ditemukan kata sus yang berarti penuh kuman, kutu, atau rusak.[5]
Menurut Qurasih Shihab, dalam al-Qur’ân tidak ditemukan kata yang terbentuk dari akar kata sâsa-yasûsu, namun ini bukan berarti bahwa al-Qur’ân tidak menguraikan soal politik. Sekian banyak ulama al-Qur’ân yang menyusun karya ilmiah dalam bidang politik dengan menggunakan al-Qur’ân dan sunnah Nabi sebagai rujukan. Bahkan Ibnu Taimiyah menamai salah satu karya ilmiahnya dengan As-siyâsah Asy-Syar'iyah (Politik Keagamaan).[6]
Menurut Ahmad Asy-Syirbȃsyȋ, dalam interpretasi perpolitikan pada masa Islam, tidak menafikan sedikit adanya  korelasi ayat-ayat al-Qur’ân dengan ide-ide politik, hal ini menjadikan ayat tersebut kian marak ditafsirkan oleh berbagai macam aliran dan ideologi yang berbeda, sehingga memunculkan hasil yang berbeda pula.[7]
Di kalangan ahli tafsir juga terdapat kecenderungan untuk berbicara dalam lapangan politik yang berkaitan dengan konsep kenegaraan dalam Islam. Ibn Jarîr at-Tabari dalam Tafsir at-Tabari misalnya banyak berbicara tentang kepala negara dalam kaitannya dengan kesejahteraan rakyat.[8]
Mufassir lain adalah Abu Qâsim Muhammad ibn ‘Umar az-Zamakhsyari dalam Tafsȋr al-Kasysyâf. Dia banyak menguraikan tentang negara moral dalam kaitannya dengan eksistensi imȃmah dalam menolak kezaliman.[9]
Selanjutnya adalah Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad al-Qurṯubi dalam Tafsȋr al-Qurṯubi yang banyak berbicara tentang imâmah dalam konteks hukum fiqh.[10] Berikutnya Abu al-Fidâ Isma’ȋl ibn Katsȋr ad-Dimasyqi dalam Tafsȋr Ibn Katsîr yang banyak mengupas tentang konsep imamah dengan argumentasi rasional.[11]
Menurut Quṯb, hukum al-Qur’ân harus dijadikan landasan bagi berlangsungnya kehidupan dalam negara. al-Qur’ân diturunkan untuk melakukan perombakan dan perubahan terhadap umat manusia secara totalitas. Karena al-Qur’ân mengandung undang-undang atau konsep-konsep secara global, memiliki ruh pembangkit, dan berfungsi sebagai penguat, penjaga dan penjelas.[12]
Bagi Quṯb al-Qur’ân merupakan sumber dari segala sumber. Dalam menafsirkan kenegaraan Quṯb tidak luput dari mengutip ayat al-Qur’ân yang kemudian dijadikan sebagai argumentasi dan penafsiran terhadap relaita kemasyarakat bernegara.
Sayyid Quṯb memberikan solusi dengan menyodorkan Islam[13] sebagai satu-satunya ideologi yang Shôlih li kulli zaman wal makân, menurutnya Islam mempunyai jawaban untuk segala problem sosial dan politik, selain itu islam juga memiliki konsep untuk menciptakan masyarakat yang harmonis.[14]
Menurut Esposito, interpretasi ayat-ayat al-Qur’ân berkaitan dengan kenegaraan memang seharusnya dijadikan sebagai landasan yang ideal dalam menata kembali tatanan negara Islam sesuai dengan al-Qur’ân.
Al-Qur’ân merupakan kitab suci umat islam yang didalamnya mengandung kalimat-kalimat yang berkaitan dengan konsep kenegaraan yang di bangun oleh manusia selama ini.
Islam adalah agama yang didalamnya mengandung ajaran-ajaran komprehensif dan universal. Di dalam al-Qur’ân terdapat term yang menyebutkan tentang istilah-istilah yang dijadikan sebagai dasar negara, tetapi dari beberapa ayat-ayat yang termaktub di dalam al-Qur’ân itu sendiri kurang begitu dikembangkan oleh ilmuan muslim, sehingga yang ada hanyalah konsep lama yang kurang bersentuhan dengan perkembangan politik kenegaraan modern.
Di dalam al-Qur’ân ditemukan pembagian kenegaraan tentang syûrâ[15] (permusyawarahan), ulû al-amrî (pemimpin negara), al-‘adl[16] (keadilan), al-mulk[17] (kedaulatan), ad-dawlaẖ (negara), as-sulṯah[18] (kekuasaan), al-amr bi al-ma‘rûf wa an-nahy ‘an al-munkar (QS. Al-Imrān/3: 104), al-qaḏhâ’/sistem peradilan (QS. Al-Mu’minun/23:20), ahl al-hill wa al-‘aqd[19], (lembaga permusyawaratan), al-ẖukm[20] (pemerintahan, hukum), al-ukhûwwâh (persaudaraan), al-ummah[21] (bangsa, ummat) al-musâwâmah (persamaan), asy-syu‘ûb[22] (rakyat), al-qabâ’il/ suku bangsa (QS. Al-Hujurat/49: 13), hubungan antar umat dari berbagai agama.
Jika ditelusuri terhadap kajian tafsir klasik dan modern saat ini, tema yang mengangkat tentang penafsiran politik kenegaraan yang murni amat sangat jarang ditemukan, padahal di dalam al-Qur’ân sendiri menyimpan beberapa kaidah-kaidah tentang perpolitikan. Para mufasir klasik dan modern tidak ada yang menulis secara penuh tentang tema-tema politik kenegaraan, hanya saja ada sebagian kecil yang membahas tema yang berkaitan dengan fakta dan realitas dimana penulis berada. Menulis sebuah tafsir ayat-ayat sosial politik dalam konteks modern merupakan sebuah terobosan besar.
Sayyid Quṯb merupakan ilmuan muslim terkemuka yang berani mencoba menafsirkan ayat ayat al-Qur’ân ke dalam kencah perpolitikan. Hal itu dilakukan seiring dengan suhu  politik di negaranya yang memaksa dirinya untuk dikucilkan dari dunia politik. Sayyid Quṯb dinilai sebagai mufassir yang mampu untuk mengangkat tema-tema politik dan menafsirkannya kedalam penafsiran-penafsiran yang bernuansa harakah Islamiyah sesuai dengan kapasitasnya sebagai da’i pada gerakan sosial kemasyarakatan di Mesir yaitu Ikhwân Al-Muslimîn.
Penulis meyakini bahwa Quṯb[23] mampu untuk menjelaskan tentang negara dalam Islam dan tertuangkan didalam tafsirnya dan buku buku lain yang bersentuhan dengan ayat ayat kenegaraan. Sayyid Quṯb adalah seorang negarawan di zamannya yang mampu menerobos pemikiran politik sehingga dia mampu mewarnai sistem perpolitikan Islam. Dalam pembuatan tesis ini penulis mengangkat tokoh yang dikenal kontroversial di mata masyarakat barat dan Islam, dan tokoh ini terkesan dengan sikap konfrontatif terhadap pemerintah pada masanya.
Dalam penulisan tesis ini penulis tidak memiliki niat untuk membenturkan pemikiran dan penafsiran  Sayyid Quṯb dengan realita masyarakay sekarang secara umum dan bangsa Indonesia secara khusus. Kajian merupakan kajian ilmiah semata untuk membandingkan beberapa konsep kenegaraan yang dibangun oleh para pemikir lintas ideologi dan pemikiran. Upaya penulis ini hanyalah mencari, menelusuri, dan meneliti kajian penafsiran Quṯb yang tertuang di dalam buku tafsinya.
Pembahasan ini tidaklah semata-mata menjadikan Quṯb sebagai satu-satunya tokoh dalam penafsiran ayat ayat politik, tetapi yang ingin dianalisa dari pemikiran sayyid Quṯb adalah penafsiran-penafsiran tentang konsep kenegaraan berdasarkan pemahamannya terhadap al-Qur’ân dan ayat ayat politik.
Di Indonesia ditemukan karya Syu‘bah Asa[24]yang merupakan tulisan tentang sosial politik. Dia menulis buku yang berjudul “Dalam Cahaya al-Qur’ân, Tafsir Ayat-Ayat Sosial Politik. Dia adalah orang kedua di Indonesia setelah Dawam Rahardjo[25] dengan Ensiklopedi al-Qur’ân-nya dalam bidang penafsiran ayat-ayat sosial dan politik.
Dalam membahas tentang politik, tentunya penafsir harus menguasai tentang ilmu politik dan perkembangan ilmunya serta menguasai metode tafsir al-Qur’ân yang telah di bangun oleh ulama tafsir sendiri. Penafsiran yang telah dilakukan oleh ilmuan muslim klasik dan modern tidak jauh dari problematika perpolitikan ketika itu.



[1] Sistem politik adalah konsepsi yang berisikan ketentuan-ketentuan tentang siapa sumber kekuasaan negara; siapa pelaksana kekuasaan tersebut; apa dasar dan bagaimana cara untuk menentukan kepada siapa kewenangan melaksanakan kekuasaan itu diberikan; kepada siapa pelaksanan kekuasaan itu bertanggung jawab dan bagaimana bentuk tanggung jawabnya. Tafsir al-Qur’ân Tematik, Al-Qur’ân dan Kernegaraan (Jakarta: Lajnah Pentashihan al-Qur’ân 2011), h. 1.
[2] Abdul Munȋr Salim. Fiqh Siyâsah, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam al-Qur’ân. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002) h, 34.
[3]  Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’ân, Tafsir Maudhȗ’I atas Pelbagai Persoalan Umat. (Bandung: Penerbit Mizan, 2003), h. 410. Politic kemudian diserap dalam bahasa Indonesia dengan tiga arti, yaitu: Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat dan sebagainya) mengenai pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan, dan juga dipergunakan sebagai nama bagi sebuah disiplin pengetahuan, yaitu ilmu politik. W.J.S Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. (Jakarta: Balai Pustaka, 1983), h. 763.
[4] Abdul Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qu’ran (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), h. 34.
[5] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’ân, Tafsir Maudhu’i atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 410.
[6] Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’ân, Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan Umat, h. 410.
[7]  Kajian tafsir siyȃsi haraki tidak terlepas dari dua aspek yaitu pertama politisasi tafsir yaitu upaya seseorang baik itu individu ataupun kelompok untuk menguasai serta menjustifikasi faham dan ideologi dan kedua penafsiran ayat-ayat politik yaitu upaya seorang mufassir untuk menggali nilai-nilai ataupun unsur-unsur politik dalam al-Qur’ân. Politisasi tafsir telah terjadi pada masa klasik, dapat dikatakan jari-jari politik pada masa klasik telah mengambil tempat tersendiri dalam memasuki tafsir al-Qur’ân al-karȋm seperti contoh apa yang terjadi pada perdebatan dalam tahkim yang dilakukan oleh Ali bin Abi Ṯ̑alib r.a. dengan umayyah yang disana menimbulkan beberapa golongan antara lain Syȋ’ah yang setia dengan sayyidinȃ ̒Ali bin ̒Abi Ṯ̑alib serta golongan khawarij yang menolak tahkȋm tersebut dan menanamkan benih kebencian terhadap  ̒Ali bin ̒Abi Ṯ̑alib. Lihat Ahmad Asy-Syirbȃsyȋ, Sejarah Tafsȋr al-Qur’ân (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 149.
[8]  Lihat Abu Ja’far Muhammad ibn Jarȋr at-Tabari, Tafsȋr al-Tabari (Beirut: Dȃr al-Fikr, 1978), h. 97.
[9] Lihat Abu Qȃsim Jar Allah Mahmȗd ibn ‘Umar al-Zamakhsyari, Tafsȋr al-Kasysyȃf (Mesir: Musthafa al-Bȃbi al-Halabi, t.t.), juz 3, h. 372.
[10]  Lihat Abu ‘Abd Allah Muhammad ibn Ahmad al-Qurṯuby, al-Jami’ li Ahkȃm al-Qur’ân (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1993), h. 273.
[11]  Lihat Abu Fida’ Ismȃ’il ibn Katsȋr ad-Dimasyqi, Tafsȋr Ibn Katsȋr (Mesir: Dar Ihyȃ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t.), juz 4, h. 32.
[12]  Sayyid Quṯb, Fiqih Dakwah (Jakarta: Pustaka Amani, 1986), h. 1.
[13]  Bagi Quṯb agama ini adalah agama ilahi bagi kehidupan manusia, yang diaplikasikan secara sempurna didalam kehidupan sesuai dengan kadar kemampuan manusia, batas-batas realitas materi dan keadaaan. Dan usaha merealisasikannya dimulai dari titik dimana manusia membebaskan dari ikatan-ikatannya dan berjalan ke akhir perjalanan susuai batas kemapuan mereka. Lihat juga Sayyid Quṯb, hadzȃ addȋn (Kairo: Dȃr Syurȗq, 2001), h. 6.
[14]  Esposito (ed), Dinamika kebangunan Islam, Bakri Siregar (terj) (Jakarta: Jakarta Press, 1997), h. 103.
[15] Kata syûrâ dan akar katanya disebutkan 4 kali yaitu: QS. 3:159, 19:29, 42:38, 2:233.
[16] Disebutkan sebanyak 25 kali. Faidullah al-Hasani,  al-Mu’jam al-Mufahras Li-alkalimȃt al-Qur’ân (Damaskus: Dar Ibnu Katsir, 2005), h.212-213.
[17] Disebutkan sebanyak 47 kali. Lihat Faidullah al- Hasani, al-Mu’jam al-Mufahras Li-alkalimȃt al-Qur’ân, h. 301.
[18] Di sebutkan di dalam al-Qur’ân sebanyak 33 ayat. Lihat Faidullah al- Hasani, al-Mu’jam al-Mufahras Li-alkalimȃt al-Qur’ân, h. 158.
[19] Syu’bah asa mendefinisikan mereka itu sebagai pejabat, hakim-hakim, ulama, para pemimpin militer, dan semua pemuka yang menjadi rujukan orang untuk berbagai keperluan mereka dan untuk kemasalahatan umum. 
[20] Di dalam al-Qur’ân kata hukm yang berbentuk fi`l, fa’il, isim masdār dan lain sebagainya ditemukan sebanyak 129 ayat. Lihat Faidullah al- Hasani, al-Mu’jam al-Mufahras Li-alkalimȃt al-Qur’ân, h. 84-85.
[21] Kata Umat di tulis 51 kali dalam al-Qur’ân. Lihat Faidullah Al- Hasani, al-Mu’jam al-Mufahras Li-alkalimȃt al-Qur’ân, h. 24-25.
[22] Di tulis sebanyak 2 kali pada QS 49:13, 77:30. Lihat Faidullah Al- Hasani, al-Mu’jam al-Mufahras Li-alkalimȃt al-Qur’ân, h. 174.
[23]  Jika melihat tafsȋr Fî Ẕilâl al-Qur’ân, tehnik penafsiran yang dilakukan oleh Sayyid Quṯb adalah interpretasi logis, karena dia melakukan penyimpulan dari ayat sebagai hasil interaksinya dengan al-Qur’ân, seperti adanya ruh ibadah, tauhid rububiyah dan uluhiyyah. Dan jika di lihat dari metode penafsirannya, dia menerapkan metode tafsir taẖlili, karena dia melakukan penafsiran ayat-ayat al-Qur’ân secara runtut mulai dari surah al-fȃtiẖaẖ sampai surah an-Nâs. Lihat Abun Bunyamin, Dinamika Tafsir Ijtimȃ’i Sayyid Quṯb, Purwakarta: Taqaddum, 2012. h. 44-45.
[24] Syubah Asa (lahir di Pekalongan, 21 Desember1941, ia meninggal di Pekalongan, 24 Juli 2010 pada umur 68 tahun adalah seorang sastrawan dan wartawan senior Indonesia, dan juga seniman. Ia menyelesaikan pendidikan sarjana muda di IAIN Sunan KalijagaYogyakarta. Menjadi redaktur TEMPO sejak 1971 hingga 1987 sebelum pindah ke Editor pada 1987 dan 1988 di Panji Masyarakat.
[25] Dawam Rahardjo adalah salah seorang muslim Indonesia yang telah menafsirkan al-Qur’ân dengan metode tafsir maudu’i, padahal dia seorang ahli ekonomi dan sosial keagamaan. Jika dikaitkan dengan persyaratan untuk seseorang yang berhak menyandang gelar mufasir, Dawam Rahardjo mengakui belum memenuhi persyaratan tersebut. Dawam Rahardjo telah berhasil menafsirkan 27 tema dalam al-Qur’ân.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

implementasi Amanah dalam kehidpan berbangsa dan bernegara

Dalam a l-Qur`ân secara ekplisit menyebut amȃnah sebanyak enam ayat dengan kategori mufrad (tunggal), dan jamak nya, yaitu pada Q...