Selain negeri yang melahirkan Rosulullah, terdapat negeri lain yang melahirkan Nabi Lȗth yang Allah hancurkan (QS al-Furqȏn/25:40)[1].
Quṯb menggambarkan
tentang contoh kebinasaan kampung Luth, padahal orang-orang Quraish sering
melihat kampung tersebut di Sadum, dalam perjalanan musim panas ke Syam.[2]
Begitu juga Allah menurunkan azab karena kefasikan
penduduk (QS al-Ankabȗt/29:34).[3] Begitu juga Allah
akan menimpakan kesempitan dan penderitaan bagi negeri yang mendustakan nabinya
(QS al-A’rȃf/7:94). [4]
Menurut
penulis, jika ada penduduk kota/negeri yang Allah datangkan kepada nabi/
utusan-Nya, kemudian mereka membangkan darinya, Allah akan membalas perbuatan
mereka dengan kesukaran, kepayahan dan peperangan yang membuat mereka sukar dan
sempit.
Penduduk negeri yang telah Allah binasakan, mustahil
bagi Allah untuk mengembalikan kembali (QS al-Anbiyȃ/21:95). Quṯb menjelaskan makna ayat tersebut
adalah penafian kemungkinan kembalinya penduduk negeri itu ke dalam kehidupan
dunia setelah kebinasaannya, atau penafian kembalinya mereka dari kesesatannya
kepada kebenaran hingga hari kiamat.[5]
Uniknya setalah Allah menghancurkan suatu negeri,
Allah akan mengganti dengan kaum lain (QS al-Anbiyȃ/ 21:11).[6]
Begitu juga Allah menghidupkan negeri yang pernah dihancurkan (QS al-Baqarah/2:259).[7]
Kata al-Qoryah
diatas lebih banyak menerangkan tentang negeri yang pernah Allah hancurkan.
Kehancuran negeri bermula dari pengingkaran dan kedurhakaan kepada pembawa
ajaran Allah. Selain al-Qoryah digunakan sebagai simbol negeri yang
dihancurkan, ia juga memiliki arti negeri yang beriman yang tidak Allah hancurkan
(QS
al-Anbiyȃ/21:6).[8]
Begitu juga Allah tidak membinasakan negeri yang
menegakkan keadilan (QS/al-Hijr/15:4). Menurut Quṯb, “…jika bangsa-bangsa dan negeri itu
beriman dan berbuat baik, melakukan perbaikan dan menegakkan keadilan, niscaya
Allah akan memanjangkan usia (kejayaan) bangsa dan negeri itu”...[9]
Disetiap negeri, Allah mengutus manusia yang membawa
peringatan kepada penduduk negeri tersebut agar beriman kepada-Nya (QS al-Furqȏn/25:51).
Quṯb menjelaskan, "…bahwa
Allah menugaskan rosul untuk memberikan peringatan kepada seluruh negeri, sehingga
menjadi satulah risalah yang terakhir ini, dan tak terpecah-pecah melalui lidah
banyak rosul di banyak negeri”...[10]
Allah juga mengutus di suatu negeri untuk memberikan
peringatan kepada orang-orang yang hidup mewah (QS Sabȃ/34:34).[11] Selain
penduduknya berkehidupan mewah, mereka juga hidup bersenang-senang (QS al-Qoshos/ 28:58) [12] dan juga berfoya
foya (QS al-Isrȃ/17:16).[13]
Meskipun berkali-kali Allah mengutus manusia ke
suatu negeri sebagai pembawa peringatan, realitanya penduduk negeri itu selalu mengingkari
perintah Allah (QS at-Ṯalȃq/65:8).[14]
Mendirikan negara yang baik tentunya menghadapai
halangan dan rintangan, diantaranya munculnya para penjahat, pemimpin yang lalai,
penduduk yang zalim (QS al-An’ȃm/6:123), Allah menjelaskan tentang suatu negeri dimana penjahat-penjahat yang
terbesar agar mereka melakukan tipu daya dalam negeri itu. Quṯb menjelaskan
bahwa ini adalah hukum Allah yang berlangsung di muka bumi.[15]
Selain para
penjahat, al-Qur’ȃn menerangkan tentang penguasa yang lalim
(QS an-Naml/27:34).[16] Al-Qur’ȃn juga menerangkan tentang penduduk
yang zhalim
(QS an-Nisȃ/4:75). Menurut Quṯb, ayat
ini sebagai lukisan al-Qur’ȃn terhadap negeri, wilayah,
dan tanah air dengan ungkapan, "…negeri
ini yang zalim penduduknya yang
diposisikan sedemikian rupa adalah dar al-harb (daerah perang). Wajib bagi kaum
muslimin untuk menyelamatkan orang-orang muslim yang tertindas dari negeri itu,
yaitu Mekah. itulah tanah air kaum muhajirin”....[17]
Begitu juga kezaliman penduduk negeri dengan melanggar aturan pada hari sabtu (QS al-A’rȃf/7:163).[18]
Dan juga kezaliman penduduk negeri ketika telah datang utusan kepada mereka (QS
Yasin/36:13). Menurut Quṯb
dalam tafsirnya:
“Ia adalah negeri yang mana Allah mengutus dua Rosul
sebagaimana halnya Allah mengutus Musa dan Harus a,s kepada Fir'aun. Kemudian
penduduk negeri itu mendustakan kedua rosul tersebut”.[19]
Dari beberapa
pemaparan dan penafsiran di atas tentang negeri yang pernah Allah hancurkan, di
dalam al-Qur’ȃn juga disebutkan negeri yang Allah janjikan, kesenangan,
kemakmuran dan keberkahan ketika mereka beriman dan berbuat baik (QS al-Baqarah/2:58)[20]
Allah menerangkan kenikmatan berupa makanan yang diberikan kepadanya (QS
al-A’rȃf/7:161)[21]
dan
Allah juga limpahkan keberkahan kepadanya (QS Sabȃ/34:18)[22]
Begitu juga Allah melimpahkan keberkehan ketika
mereka yang membenarkan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya. Allah berfirman:
“dan
agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) ummul Qura (Mekah) dan
orang-orang yang di luar lingkungannya”. (QS al-An’am/6:92).
Menurut
Quṯb, “…Mekah dinamakan Ummul Qurȃ[23], karena disana berdiri Baitullah yang
merupakan bangunan pertama yang didirikan untuk digunakan manusia menyembah
Allah semata tanpa sekutu, dijadikan
sebagai tempat keamanan bagi manusia dan seluruh makhluk hidup”...[24]
Allah juga melimpahkan keberkahan karena keimanan
dan ketakawaan (QS al-A’rȃf/7:96) dan limpahan rizki karena keamanan (QS an-Nahl/
16:112)[25]. Quṯb menafsirkan ayat di atas bahwa
Allah hendak memberikan sebuah contoh keadaan kota Mekah dan tabiat penduduknya
yang mengingkari nikmat-nikmat Allah, agar mereka menyadari tempat kembali
(al-mashir) yang disediakan untuk mereka di sela-sela perumpamaan tersebut.[26]
Selain keberkahan dan kenikmatan, Allah turunkan
kebenaran yang di bawa oleh rosul untuk penduduk negeri (QS az-Zukhrȗf/43:31)[27],
penduduknya berbuat kebaikan (QS Hȗd/11:117)[28],
dan membenarkan wahyu (QS Yȗsuf/ 12:109)[29].
Ayat lain Allah
tidak membinasakan kota karena seorang rasul
yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka. Allah
berfirman:
"Dan tidak
adalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum dia mengutus di ibukota itu
seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka" (QS al-Qoshos/ 28:59)
Menurut Quṯb, “…Allah membinasakan negeri-begeri yang
mengingkari nikmat Allah itu kecuali setelah Dia mengirim utusan-Nya kepada
mereka. Hikmah pengiriman rosul ke ibukota negeri-negeri adalah agar tempat itu
menjadi pusat penyebaran risalah ke penjuru-penjuru negeri sehingga tidak ada
lagi hujjah dan alasan bagi seseorang untuk beriman”...[30]
Di dalam
QS al-An’ȃm/6:131, Allah
tidak membinasakan karena kasih sayangnya. Menurut Quṯb, “…karena kasih sayang Allah kepada
manusia, Dia tidak akan mengazab mereka atas kemusyrikan dan kekafiran mereka
hingga Dia mengutus para rosul kepada mereka”...[31]
Dari beberapa ayat diatas yang menceritakan tentang
kehancuran dan keberkahan negeri, hal itu menjadikan peringatan kepada kaum
setelahnya agar bisa mentadaburi nikmat yang Allah pernah berikan kepada negeri
kita (QS Al-A’rȃf/7:101) dan sisa reruntuhan negeri yang Allah binasakan
mestinya dijadikan pelajaran yang berharga (QS Hȗd/11:100).
Bagi Quṯb tujuan kisah di dalam al-Qur’ȃn adalah menetapkan
Keesaan Allah kesatuan agama, kesatuan rosul, kesatuan metode dakwah, kesatuan
akhir dari para penghianat agama.[32] Hikmah
dari keberadaan negara adalah membuat perhitungan dari kisah-kisah sebelumnya,
sehingga negara bisa mengambil pelajaran dari perjalanan negara di masa lalu.
baca juga :
[2] Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl
al-Qur’ȃn, Vol. VIII, h. 297. Negeri kaum Luth adalah negeri Sodom, dimana
Allah hancurkan mereka dengan hujan dan batu yang bercampur tanah karena ia
merupakan negeri orang-orang yang menyukai sesama (QS Al-Ankabut/29:31 dan 34). Quṯb menjelaskan bahwa
dikampung tersebut terdapat Nabi Luth, dan dia adalah seorang hamba yang Sholeh
dan bukan seorang yang zalim. Meskipun keberadaan Luth berada di perkampungan
orang yang menyukai sesama jenis. Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl
al-Qur’ȃn, Vol. XI, h. 102. Dari kehancuran dan kebinasaan yang Allah
berikan kepada kaum Luth, Allah menyelamatkan Luth dari azab-Nya (QS al-Anbiya/21:74).
Quṯb menjelaskan bahwa ayat ini menceritakan tentang Nabi luth yang telah
menemani pamannya ibrahim yang pindah dari Irak menuju Negeri Syam. Dia berdiam
di negeri Sadum. Penduduk kota itu gemar melakukan perbuatan keji, yaitu
homoseksual dengan terang-terangan tanpa rasa malu sedikitpun dan rasa
bersalah. Maka Allahpun membinasakan kota dari seluruh penduduknya. Sayyid
Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol. VIII, h. 75.
[3] Quṯb menjelaskan bahwa ayat ini menceritakan
tentang adegan pembinasaan yang menimpa kampung tersebut beserta seluruh
penduduknya, kecuali Luth dan keluarganya yang beriman. Pembinasaan ini terjadi
dengan hujan dan batu yang bercampur tanah. Menurut dugaan terkuat, hal itu
berupa ledakan lava yang membalik kota tersebut dan menelannya. Kemudian
menghujaninya dengan hujan batu yang menyertai semburan lava. Sayyid Quṯb, Tafsȋr
Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol. XI, h. 103.
[4] Ridha menejelaskan bahwa kata Qoryah adalah
kota besar bagi yang dipimpin oleh kepala daerah/ walikota (penulis) yang
mana di zaman sekarang disebut sebagai
ibu kota. Begitu juga para nabi diutus di kota kota besar karena penduduk
negeri mengikuti pemimpinnya apabila mereka beriman. Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir al Manar (Kairo: Dȃr Taufiqiyah, t.t), Vol. 9, h. 14.
[5] Sayyid Quṯb, Fȋ
Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Jilid. IV. h. 2398.
[6] Quṯb menafsirkan bahwa al-Qosmu maknanya
lebih keras dari sekedȃr memotong-motong
dan menghancurkan. tuturan lafazh ini menggambarkan maknanya yang lebih keras,
kejam, pembenturan, dan penghancuran total atas negeri-negeri yang zalim,
sehingga ia menjadi rusak dan binasa. Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl
al-Qur’ȃn, Vol. VIII, h. 51.
[7] Quṯb menafsirkan siapakah gerangan
"orang-orang yang melewati suatu negeri itu? Negeri manakah yang
dilewatinya yang temboknya telah roboh menutupi atapnya itu? al Quran tidak
menyebutkannya dengan jelas, kalau Allah menghendaki, niscaya disebutkannya
dengan jelas. Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Jilid. I, h. 299.
[8] Quṯb menjelaskan bahwa mukjizat telah
berkali-kali datang, namun berkali-kali pula orang-orang mendustakannya, dan
berkali-kali pula Allah membinasakan orang-orang yang mendustakaan itu. Dan
Allah tidak membinasakan negeri yang penduduknya beriman. Sayyid Quṯb, Tafsȋr
Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol.VIII, h. 48.
[9] Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl
al-Qur’ȃn, Vol.VII, h. 124.
[10] Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,
Jilid.V, h. 2570-2571.
[11] Bagi Quṯb
hidup mewah itu mengeraskan hati, menghilangkan sensitivitasnya, merusak
fitrah, dan membutakannya sehingga tak dapat melihat tanda-tanda petunjuk.
Akibatnya mereka menjadi sombong atas petunjuk dan tetap berpegang pada
kebathilan, serta tidak terbuka untuk menerima cahaya. Hal ini mejadikan tidak
akan diutusnya seorang pemberi peringatan pada negeri tersebut. Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol. IX h.
326.
[12] Quṯb menjelaskan bahwa mengingkari dan tidak
mensyukuri nikmat itulah penyebab kebinasaan negeri-negeri itu. Kebinasaan
mereka seperti yang menimpa negeri-negeri yang mereka lihat dan mereka ketahui
itu, mereka dapati penduduk-penduduknya sudah binasa dan kosong dari tempat
itu. Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Jilid. V, h. 2704. Ayat
diatas dipertegas dengan QS Az-Zukhruf/43:23. Quṯb menjelaskan bahwa al Qur’an
menampilkan kepada mereka bentuk akhir nasib orang-orang yang mengatakan
seperti itu dan yang mengikuti jalan mereka dalam sikap ikut-ikutan dan taklid,
serta berpaling dan mendustakan kebenaran. Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl
al-Qur’ȃn, Jilid. V, h. 3182.
[13] Quṯb menerangkan bahwa orang-orang yang
hidup mewah pada segala bangsa adalah mereka yang berada pada lapisan elit dan
pada pembesar. Mereka punya banyak uang, kroni dan hidup serba ada. Merekapun
menikmati itu semua dengan bermalas-malasan sambil berfoya-foya dan berkuasa.
Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol.VII, h. 243.
[14] Menurut Quṯb ayat ini menjelaskan tentang
hukuman Allah yang dijatuhkan kepada orang-orang yang mendurhakai perintah
Allah dan tidak tunduk kepada rosul-rosul-Nya. Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ
Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol. XI, h 321.
[15] Sayyid Quṯb, Tafsȋr
Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol.VI, h. 206-207.
[16] Quṯb menjelaskan kebiasaan raja-raja bila
meneklukkan negeri-negeri, maka mereka melakukan kerusakan dengan merajalela
dan membolehkan pembunuhan dan pemusnahan didalamnya juga menginjak-menginjak
kehormatan, menghancurkan pemimpin dan pembesar-pembesarnya, dan menghinakan
mereka karena melaukuan perlawanan. Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,
Jilid. V, h. 2639.
[17] Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl
al-Qur’ȃn, Vol. III, h. 22. Ayat diatas dipertegas dengan QS Hud/ 11:102. Ayat 100-102 menceritakan tentang
penduduk suatu negeri yang pernah Allah binasakan dȃr i muka bumi
karena mereka zalim dengan menyekutukan Allah. dianatara mereka ada yang
ditenggelamkan di dalam gelombang air bah, disksa dengan angin topan dan badai,
disiksa dengan suara yang mengguntur, ditenggelamkan bersama rumahnya ke dalam
bumi. Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol.VI, h. 278.
Kemudian diperjelas lagi dengan QS Al-Kahfi/18:59. Quṯb menjelaskan bahwa
mereka pantas dihukum atau dibinasakan seperti penduduk-penduduk negeri lainnya
yang terdahulu. Seandainya Alllah tidak mengulur waktunya samapai batas waktu
tertentu disebabkan oelh himah yang ditentukan oleh kehendak-Nya atas mereka.
Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol.VII, h. 327.
[18] Quṯb menafsirkan bahwa al-Qur’ȃn tidak
menyebutkan nama negeri yang terletak didekat laut itu karena negeri itu sudah
populer dikalangan orang-orang yang diajak bicara tersebut. Adapun kejadiannya
ialah sejumlah pemuka bani Israil yang berdomisli di sebuh kota di tepi pantai,
mereka meminta untuk dibuatkan hari libur sebagai hari istirahat untuk
beribadah. Maka ditetapkanlah hari sabtu sebagai hari besar mereka. Sayyid
Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Jilid. III, h. 1383.
[19] Sayyid Quṯb, Tafsȋr
Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol. IX, h. 387.
[20] Quṯb
menafsirkan bahwa negeri yang dimaksud adalah baitul Maqdis yang Allah
memerintahkan bani Israel untuk memasukinya setelah mereka keluar dari Mesir,
dan agar mereka mengusir penduduknya yang telah menghuninya. Sayyid Quṯb, Tafsȋr
Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol. I, h. 87.
[21] Quṯb menjelaskan bahwa bani Israil
diperintahkan memasuki sebuah kota besar. Al-Qur’ȃn
tidak menyebutkan namanya. Mereka memasuki kota setelah mereka dimaafkan karena
menjadikan sapi sebagai sesembahan dan disambar petir diatas gunung. Sayyid
Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Jilid. III, h. 1382.
[22] Menurut Quṯb
jika seorang musafir keluar dari satu kota ia akan sampai ke kota lain sebelum
masuk waktu malam. Perjalanan disitu telah ditetapkan jarak-jaraknya, sehingga
para musafir dapat berjalan dengan aman dan pasti. Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,
Jilid. V, h. 2901.
[23]
Bagi Quṯb, Ummul Quro adalah Mekkah Mukarromah, rumah Agung Allah, tempat
diturunkan risalah terakhir, dan tempat diturunkan al-Qur’ȃn dengan bahasa
arab kepada sesuatu yang diketahuinya dan dikehendakinya. Sayyid Quṯb, Tafsir surah as-Syura, (Kairo: Dȃr Syuruq, 1993), h. 24.
[24] Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl
al-Qur’ȃn, Vol. IV, h. 157.
[25] z>uÑur ª!$# WxsWtB Zptös% ôMtR$2 ZpoYÏB#uä Zp¨ZͳyJôÜB $ygÏ?ù't $ygè%øÍ #Yxîu `ÏiB Èe@ä. 5b%s3tB ôNtxÿx6sù ÉOãè÷Rr'Î/ «!$#
[26] Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,
Jilid. III, h. 1338.
[27] Pada QS Az-Zukhruf/43:31, Quṯb menjelaskan
dua negeri yang mereka maksud itu adalah Mekah dan Thaif. Meskipun Rosulullah
berasal dari suku Quraish dan dari Bani hasyim yang merupakan kalangan elit
Arab, demikian juga walaupun pribadi beliau terkenal berakhlak mulia di
lingkungan beliau sebelum diangkat sebagai Rasul, namun beliau bukanlah
pemimpin kabilah dan ketua keluarga besar dilingkungan yang mengagungkan
nilai-nilai kekabilahan itu. Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,
Vol. X, h. 241.
[28] Pada surah Hȗd/11:117, Quṯb menjelaskan
bahwa orang-orang yang menyeru kepada Allah saja dan membersihkan negeri dari
kerusakan yang disebabkan oleh sikap keberagaman kepada selain Allah, maka
mereka itulah pagar-pagar keamanan bagi umat dan bangsa. Sayyid Quṯb, Tafsȋr
Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol.VI, h. 285.
[29] Di dalam QS Yȗsuf/ 12:109 Quṯb menjelaskan
mereka bukanlah sekelompok malaikat atau makluk lain. Sesungguhnya mereka
manusia seperti kamu (Muhammad) dari penduduk kota yang maju dan berperadaban,
bukan penduduk badui, agar mereka lebih lembut dan lebih mudah dipengaruhi
serta lebih sabar dalam menghadapai beban dakwah dan hidayah. Sayyid Quṯb, Fȋ
Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Jilid. IV, h. 2035.
[30] Sayyid Quṯb, Fȋ
Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Jilid. V, h. 2704-2705.
[31] Sayyid Quṯb, Fȋ
Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Jilid. III, h. 1209.
[32]
Sayyid Quṯb, at-Tashawwur al-Fanni fȋ
al-Qur'ȃn (kairo: Dȃr As-Syuruq,
2005), h. 171.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar