Jumat, 24 April 2020

Mewujudkan persamaan dalam bernegegara dalam tafsir fi Zilalil Quran



Islam adalah agama yang mengusung nilai-nilai persamaan. Allah berfirman:
 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (al-Hujurât/49:13).

Menurut Quṯb, warna kulit, ras, bahasa, negara dan lainnya tidak ada dalam pertimbangan Allah. Di sana hanya ada satu timbangan untuk menguji seluruh nilai dan mengetahui keutamaan manusia. Yaitu, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” Orang paling mulia yang hakiki ialah yang mulia menurut pandangan Allah.[1]
Bagi Quṯb, “...di sisi Allah semuanya sama sederajat, tidak ada sedikit pun kelebihan yang satu dari yang lain kecuali karena ketakwaannya. Itu merupakan satu permasalahan lain yang tidak ada kaitannya dengan asal dan pertumbuhan manusia, yaitu bahwasanya manusia ini semuanya sama tidak ada kelebihan antara yang satu dengan yang lain kecuali karena takwanya”...[2]  
Di dalam pemerintahan, semua manusia itu sama, tidak mengenal perbedaan suku, ras dan agama. Dalam menerima hak dan menjelankan kewajiban semua manusia sama di mata hukum dan sama-sama menerima keadilan tanpa harus memandang perbedaan. Persamaan dalam kehidupan manusia sejatinya karena manusia adalah makluk yang mulia. Allah berfirman:
ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs?
“Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan”. (QS Al-Isra/17:70).

Kata Karramnȃ diambil dari akar kata karaman yang berarti kemuliaan. Karramnȃ berarti Kami (Allah) telah memuliakan. Adanya tasdid pada lafaẕ karramna menunjukkan banyaknya kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia. Kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia adalah anugerah berupa keistimewaan yang sifatnya internal.[3]
Begitu juga persamaan terungkap pada QS Al-Hujurat/49:13[4], yang menejelaskan bahwa ketaqwaan adalah standarisasi pembeda dari semua manusia yang berlainan jenis, suku, ras dan bangsa.  Menurut Quṯb:
“Bahwa orang-orang yang berbeda ras dan warna kulitnya, yang berbeda-beda suku dan kabilahnya, sesungguhnya berasal dari pokok yang satu. Maka, janganlah berikhtilaf, janganlah bercerai berai, jangan bermusuhan.[5]

            Menurut penulis manusia sejatinya sama. Islam adalah agama yang berdiri diatas persamaan suku, ras, bangsa, bahkan warna kulit. Terbukti ketika Islam berdiri di awalnya, Islam tidak memandang siapa yang memeluk Islam ketika itu. Islam berdiri diatas semua kepentingan manusia, diatas semua golongan, di atas semua tujuan manusia. Dalam hal ini pemerintahan yang bertanggung jawab adalah pemerintah yang berani menanungi semua golongan manusia, yang mau leindungi semua warga negaranya tanpa harus melihat warna kulit, ras, golongan, bangsa dan agama.
            Menurut Qutb bahwa ketakwaan di bawah naungan Allah adalah panji yang ditegakkan Islam untuk menyelamatkan umat manusia dari fanatisme ras, fanatisme daerah, fanatisme kabilah dan fanatisme rumah. Semua ini merupakan kejahiliahan yang kemudian dikemas dalam berbagai model dan dinamai dengan berbagai istilah. Islam memerangi fanatisme jahiliyah ini segala sosok dan bentuknya agar sistem Islam yang manusiawi dan mengglobal ini tegak di bawah satu panji, yaitu panji Allah bukan panji negara, bukan panji nasionalisme, bukan panji keluarga dan bukan panji ras. Semua itu merupakan panji palsu yang tidak dikenal.[6]
Dalam menjelaskan pembagian harta dalam warisan, Quṯb cenderung memahami ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan karena tugas dan perannya dalam sisi ekonomi. Adapun tentang kelipatan bagian kaum pria dari bagian kaum wanita dalam harta peninggalan warisan, maka rujukannya adalah pada watak kaum pria dalam kehidupan; ia menikahi wanita dan bertanggung jawab terhadap nafkah keluarganya selain bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan keluarganya itu.[7]
Dalam soal kepemimpinan Quṯb pun juga memberi penegasan bahwa kepemimpinan kaum pria atas wanita seperti yang tertera dalam QS an-Nisa/4:34[8]
Quṯb menjelaskan bahwa Allah memberikan lelaki kekhususan-kekhususan sendiri. Mereka dibekali kekuatan dan keperkasaan, perasaannya tidak terlalu sensitif dan reaktif, dan selalu menggunakan pertimbangan dan pikiran sebelum bertindak dan memberikan reaksi. Dari sifat inilah yang menjadikan laki-laki lebih melaksanakan kepemimpinan dan lebih layak menggeluti lapangannya sebagaimana tugasnya memberi nafkah yang merupakan salah satu cabang tugas khususnya menjadikannya lebih layak menjadi pemimpin. Karena mengatur kehidupan organisasi keluarga dengan seluruh anggotanya itu termasuk dalam kepemimpinan, Allah memberinya wewenang untuk mengatur penggunaan harta itu lebih sesuai karakter tugasnya itu. al-Qur’ȃn menetapkan kepemimpinan laki-laki atas wanita dalam masyarakat Islam. Kepemimpinan disebabkan oleh penciptaan dan kodratnya karena pembagian tugas dan kekhususan. Kepemimpinan karena keadilan dalam pembagian tugas masing-masing pihak pada bidang yang memang dimudahkan untuknya, dan masing-masing didukung oleh fitrahnya.[9]
Quṯb menafsirkan bahwa wanita tidak disiapkan untuk itu dan tidak ditugasi mengurusnya. Suatu kezaliman apabila memikulkan tugas kepemimpinan ini kepada wanita dan membebaninya dengan beban-beban lain. Apabila dia disiapakan untuk megemban tugas kepemimpinan ini dengan persiapan-persiapan yang tersimpan (dari dalam diri sendiri) dan dilatih mengemban tugas kepemimpinan ini dengan persiapan, dan dilatih dengan teoritis dan praktis, maka dibatasilah persiapannya untuk menunaikan tugas lain, yaitu tugas keibuan.[10]


[1] Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Jilid. VI, h. 3348.
[2] Sayyid Quṯb, al-‘Adālah al-Ijtimā’iyyah fī al-Islām, h. 67.
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’ȃn dan Tafsirnya, Vol. V, h. 516-517.
[4]   $pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz
[5] Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Jilid. VI, h. 3348.
[6]  Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Jilid. VI, h. 3348.
[7]  Sayyid Quṯb, al-‘Adālah al-Ijtimā’iyyah fī al-Islām, h. 71.
[8]   ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr&
[9]  Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Jilid. II, h. 649.
[10]  Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Jilid. II, h. 650.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

implementasi Amanah dalam kehidpan berbangsa dan bernegara

Dalam a l-Qur`ân secara ekplisit menyebut amȃnah sebanyak enam ayat dengan kategori mufrad (tunggal), dan jamak nya, yaitu pada Q...