Islam adalah agama yang mengusung nilai-nilai
persamaan. Allah berfirman:
¨bÎ)
ö/ä3tBtò2r&
yYÏã
«!$#
öNä39s)ø?r&
4 ¨bÎ)
©!$#
îLìÎ=tã
×Î7yz
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal”. (al-Hujurât/49:13).
Menurut Quṯb, warna kulit, ras, bahasa, negara dan
lainnya tidak ada dalam pertimbangan Allah. Di sana hanya ada satu timbangan
untuk menguji seluruh nilai dan mengetahui keutamaan manusia. Yaitu,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang
yang paling bertakwa di antara kamu.” Orang paling mulia yang hakiki ialah yang
mulia menurut pandangan Allah.[1]
Bagi Quṯb, “...di sisi Allah semuanya sama
sederajat, tidak ada sedikit pun kelebihan yang satu dari yang lain kecuali
karena ketakwaannya. Itu merupakan satu permasalahan lain yang tidak ada
kaitannya dengan asal dan pertumbuhan manusia, yaitu bahwasanya manusia ini
semuanya sama tidak ada kelebihan antara yang satu dengan yang lain kecuali
karena takwanya”...[2]
Di dalam pemerintahan, semua manusia itu sama, tidak
mengenal perbedaan suku, ras dan agama. Dalam menerima hak dan menjelankan
kewajiban semua manusia sama di mata hukum dan sama-sama menerima keadilan
tanpa harus memandang perbedaan. Persamaan dalam kehidupan manusia sejatinya
karena manusia adalah makluk yang mulia. Allah berfirman:
ôs)s9ur
$oYøB§x.
ûÓÍ_t/
tPy#uä
öNßg»oYù=uHxqur
Îû
Îhy9ø9$#
Ìóst7ø9$#ur
Nßg»oYø%yuur
ÆÏiB
ÏM»t7Íh©Ü9$#
óOßg»uZù=Òsùur
4n?tã
9ÏV2
ô`£JÏiB
$oYø)n=yz
WxÅÒøÿs?
“Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan
anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri
mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan”. (QS
Al-Isra/17:70).
Kata Karramnȃ diambil dari akar kata karaman yang berarti kemuliaan. Karramnȃ
berarti Kami (Allah) telah memuliakan. Adanya tasdid pada lafaẕ karramna
menunjukkan banyaknya kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia. Kemuliaan
yang diberikan Allah kepada manusia adalah anugerah berupa keistimewaan yang
sifatnya internal.[3]
Begitu juga persamaan terungkap pada QS
Al-Hujurat/49:13[4],
yang menejelaskan bahwa ketaqwaan adalah standarisasi pembeda dari semua
manusia yang berlainan jenis, suku, ras dan bangsa. Menurut Quṯb:
“Bahwa orang-orang yang berbeda ras dan warna
kulitnya, yang berbeda-beda suku dan kabilahnya, sesungguhnya berasal dari
pokok yang satu. Maka, janganlah berikhtilaf, janganlah bercerai berai, jangan
bermusuhan”.[5]
Menurut
penulis manusia sejatinya sama. Islam adalah agama yang berdiri diatas
persamaan suku, ras, bangsa, bahkan warna kulit. Terbukti ketika Islam berdiri
di awalnya, Islam tidak memandang siapa yang memeluk Islam ketika itu. Islam
berdiri diatas semua kepentingan manusia, diatas semua golongan, di atas semua
tujuan manusia. Dalam hal ini pemerintahan yang bertanggung jawab adalah
pemerintah yang berani menanungi semua golongan manusia, yang mau leindungi
semua warga negaranya tanpa harus melihat warna kulit, ras, golongan, bangsa
dan agama.
Menurut
Qutb bahwa ketakwaan di bawah naungan Allah adalah panji yang ditegakkan Islam
untuk menyelamatkan umat manusia dari fanatisme ras, fanatisme daerah,
fanatisme kabilah dan fanatisme rumah. Semua ini merupakan kejahiliahan yang
kemudian dikemas dalam berbagai model dan dinamai dengan berbagai istilah.
Islam memerangi fanatisme jahiliyah ini segala sosok dan bentuknya agar sistem
Islam yang manusiawi dan mengglobal ini tegak di bawah satu panji, yaitu panji
Allah bukan panji negara, bukan panji nasionalisme, bukan panji keluarga dan
bukan panji ras. Semua itu merupakan panji palsu yang tidak dikenal.[6]
Dalam menjelaskan
pembagian harta dalam warisan, Quṯb cenderung memahami ada perbedaan antara
laki-laki dan perempuan karena tugas dan perannya dalam sisi ekonomi. Adapun
tentang kelipatan bagian kaum pria dari bagian kaum wanita dalam harta
peninggalan warisan, maka rujukannya adalah pada watak kaum pria dalam
kehidupan; ia menikahi wanita dan bertanggung jawab terhadap nafkah keluarganya
selain bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan
keluarganya itu.[7]
Dalam soal kepemimpinan Quṯb
pun juga memberi penegasan bahwa kepemimpinan kaum pria atas wanita seperti
yang tertera dalam QS an-Nisa/4:34[8]
Quṯb menjelaskan bahwa
Allah memberikan lelaki kekhususan-kekhususan sendiri. Mereka dibekali kekuatan
dan keperkasaan, perasaannya tidak terlalu sensitif dan reaktif, dan selalu
menggunakan pertimbangan dan pikiran sebelum bertindak dan memberikan reaksi.
Dari sifat inilah yang menjadikan laki-laki lebih melaksanakan kepemimpinan dan
lebih layak menggeluti lapangannya sebagaimana tugasnya memberi nafkah yang
merupakan salah satu cabang tugas khususnya menjadikannya lebih layak menjadi
pemimpin. Karena mengatur kehidupan organisasi keluarga dengan seluruh
anggotanya itu termasuk dalam kepemimpinan, Allah memberinya wewenang untuk
mengatur penggunaan harta itu lebih sesuai karakter tugasnya itu. al-Qur’ȃn
menetapkan kepemimpinan laki-laki atas
wanita dalam masyarakat Islam. Kepemimpinan disebabkan oleh penciptaan dan
kodratnya karena pembagian tugas dan kekhususan. Kepemimpinan karena keadilan
dalam pembagian tugas masing-masing pihak pada bidang yang memang dimudahkan
untuknya, dan masing-masing didukung oleh fitrahnya.[9]
Quṯb menafsirkan bahwa
wanita tidak disiapkan untuk itu dan tidak ditugasi mengurusnya. Suatu
kezaliman apabila memikulkan tugas kepemimpinan ini kepada wanita dan membebaninya
dengan beban-beban lain. Apabila dia disiapakan untuk megemban tugas
kepemimpinan ini dengan persiapan-persiapan yang tersimpan (dari dalam diri
sendiri) dan dilatih mengemban tugas kepemimpinan ini dengan persiapan, dan
dilatih dengan teoritis dan praktis, maka dibatasilah persiapannya untuk
menunaikan tugas lain, yaitu tugas keibuan.[10]
[1] Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Jilid. VI, h. 3348.
[2] Sayyid Quṯb, al-‘Adālah al-Ijtimā’iyyah fī al-Islām,
h. 67.
[4] $pkr'¯»t â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.s 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© @ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ×Î7yz
[5] Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Jilid. VI, h. 3348.
[7] Sayyid Quṯb, al-‘Adālah al-Ijtimā’iyyah
fī al-Islām, h. 71.
[8] ãA%y`Ìh9$# cqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ @Òsù ª!$# óOßgÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr&
Tidak ada komentar:
Posting Komentar