Rabu, 15 April 2020

Penerapan Syari̒at Agama dalam negara




Sayyid Quṯb menjabarkan tujuh karakteristik konsepsi Islam sebagai landasan konsepsi politik Islam. Menurutnya, “...tujuh karakteristik tersebut tidak dimiliki oleh ideologi- ideologi ciptaan manusia. Karakteristik- karakteristik tersebut ialah rabbaniyah (ketuhanan), konstan, menyeluruh (komprehensif), keseimbangan, keaktifan, realistis, dan tauhid”...[1]
Gagasan syari’at Islam menjadi tujuan atau agenda utama dalam gerakannya. Dengan pandangan, suatu negara apapun bentuknya harus didirikan atas dasar syari’at Islam, sehingga terwujud suatu negara yang ideal.[2]
Syariat Islam dapat dipahami sebagai manhaj rabbani. Secara umum konsep islam adalah konsep yang rabbani. Menurut Quṯb:
Konsep robbani adalah yang datang dari Allah dengan membawa segala karakteristik tersendiri, sehingga ia merupakan konsep yang esensinya tidak berkembang tetapi manusialah dalam kerangkanya dan meningkat di dalam memahami dan menggapnya. Manusia akan tetap berkembang dan meningkat, tumbuh dan maju, sedangkan kerangka ini akan selalu mencakupnya dan konsep rabbani akan selalu membimbingnya; sebab sumber yang menciptakan konsep ini adalah juga sumber yang menciptakan manusia”.[3]

Pada dasarnya masyarakat Islam[4] hanya dapat dibangun menurut ajaran-ajaran syari’at, karena syari’at dapat menjamin kemerdekaan dan keadilan bagi semua orang beriman. Syari’at di sini tidak terbatas pada perintah-perintah, hukum, dan prinsip-prinsip pemerintahan saja, akan tetapi juga menyangkut moralitas iman, pokok-pokok moralitas atau perilaku manusia, dan pokok-pokok pengetahuan.[5]
Pemikiran Quṯb dapat dikelompokkan kedalam kelompok pemikir formalis, artinya menegakkan syariat Islam itu wajib, demikian pula menegakkan negara Islam juga wajib.[6]
Pada satu sisi Quṯb menekankan isi dan nilai-nilai tentang persamaan, keadilan, kebebasan dan prinsip syura, sementara disisi lain ia menekankan bentuk simbol Islam sehingga negara yang islami adalah negera yang ideologis dan formal Islam sebagai hukum dan konstitusi negara.[7]
Mengenai visi politik Quṯb yang penting adalah menciptakan keserasian Ilahiah di dunia. Artinya kehidupan di dunia harus didasarkan pada keserasian hukum-hukum Ilahi.[8]
Quṯb mempunyai tiga konsep politik yang harus dijadikan landasan demi terwujudnya suatu negara atau pemerintahan yang ideal. Pertama, Konsep hakimiyah. Konsep hakimiyah ini berarti menunjukkan keilahian yang berarti kedaulatan asal. Tuhan merupakan sumber kekuatan yang penuh untuk mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan makhluk-Nya.
Kedua, Konsep manhaj, ia merupakan sebuah metode dan penetapan perjuangan yang merujuk pada perjuangan dan pengalaman Nabi[9]. Segala tindakan dan perjuangan nabi bukan hal kebetulan, akan tetapi merupakan sebuah pedoman dan petunjuk bagi seluruh umat. Nabi Muhammad adalah seorang nabi dan rasul Allah yang menjadi suri tauladan (uswatul hasanah) bagi umat Islam. Sehingga, pengalaman dan perjuangan yang dilakukan nabi di Mekkah dan Madinah, dapat dijadikan tauladan untuk perjuangan masa kini dan mendatang.[10]
Ketiga, Negara Islam. Negara Islam adalah suatu negara yang sistem pemerintahannya berdasarkan syari’at Islam yang bersumber pada al-Qur’ȃn dan as-Sunnah. Islam merupakan satu-satunya ideologi positif dan lebih sempurna dibandingkan yang lain.[11]
 Hukum al-Qur’ȃn harus dijadikan landasan bagi berlangsungnya kehidupan dalam negara. Al-Qur’ȃn diturunkan untuk melakukan perombakan dan perubahan terhadap umat manusia secara totalitas. Karena al-Qur’ȃn mengandung undang-undang atau konsep-konsep secara global, memiliki ruh pembangkit, dan berfungsi sebagai penguat, penjaga dan penjelas.[12]
Menurut Quṯb, bahwasannya “...kesuksesan material menjadi landasan kekuatan Barat. Hal itu mengakibatkan adanya perilaku moral tercela, dan membuat konsepsi masyarakat menopang dengan tidak berakar, berjiwa dan kehampaan. Dengan masalah ini, Quṯb menemukan dan memberi solusi bahwa untuk memulihkan kembali masyarakat ke semula, maka harus kembali pada Tuhan dan Islam. Setelah menemukan solusi ini, Quṯb memusatkan energi untuk mengeksplorasi dan menganjurkan cara untuk memulihkan nilai-nilai umat yang harmonis”...[13]




[1]  Yvonne Y. Haddad, “Sayyid Quṯb: Perumus Ideologi Kebangkitan Islam”, dalam John L. Esposito, ed., Dinamika Kebangunan Islam, dalam Muhammad Iqbal dan Amin Husein Nasution, “Pemikiran Politik Islam”, h. 211-213.
[2] Ali Rahnoma, Para Perintis Zaman Baru Islam, terj, Ilyas Hasan (Bandung: Mizan, 1995), h. 137.
[3] Sayyid Qutb, Karakteristik Konsepsi Islam, terj. Muzzaki (Bandung: Pustaka, 1990), h. 47.
[4]  Bagi Quṯb jalan menuju kepada masyarakat islami begitu panjang, sulit dan terjal berduri, ia merupakan jalan yang lebih sukar yang harus dicapai dengan usaha keras, pikiran, penerapan akhlak. Cara merubahnya pun harus mampu menggeser dari bentuk peradaban material ke bentuk peradaban Islam. Lihat Sayyid Quth, al-Islȃm wa Muskilȃt al-haḏȃrah, (Kairo: Dȃr  Syurȗq, 2005), h. 189.
[5]  John L. Esposito, Dinamika Kebangunan Islam (Jakarta: Rajawali, 1987), h. 101.
[6] Murti, “Pemikiran Politik Sayyid Quṯb (Skripsi S1, Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta tahun 2003), h. 6.
[7] Murti, “Pemikiran Politik Sayyid Quṯb, h. 91.
[8]  Ali Rahnoma, Para Perintis Zaman Baru Islam, h. 137.
[9] Sesungguhnya manusia tidak dapat menerima kebiasaan kepada metode yang dibaca dan didengar, seraya ia menerima kepada metode yang hidup dan bergerak, terbentuk, dan terbangun di dalam kehidupan manusia yang di terjemahkan kepada realitas dari mata melihat dan tangan memegang. Metode itu adalah metode islami pada gambaran masyarakat islami. Lihat Sayyid Quth, al-Islȃm wa Muskilȃt al-haḏȃrah, h. 186.
[10] M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal (Jakarta: Erlangga, 2004), h. 45. Metode ilahi yang dicontohkan oleh Islam yaitu sebagaimana yang didatangkan oleh Muhammad, ia tidak bisa diaplikasikan di bumi ini dan kepada manusia dengan hanya mengucap kalimat saja, tetapi ia bisa dibumikan dengan cara mengajak dan membentuk kelompok manusia beriman secara sempurna dan berusaha konsisten sesuai kapasitasnya, serta didorong untuk berjuang dalam menanamkan hati orang lain di dalam kehidupan mereka serta berusaha keras untuk mencapai kehidupan mereka dan berjihad dari kelemahan dan nafsu manusia. Lihat juga Sayyid Quṯb, haḏa addin, h. 9-10.
[11] M. Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal, h. 47.
[12] Sayyid Qutb, Fiqih Dakwah, h. 1.
[13] Ali Rahnoma, Perintis Zaman Baru Islam, h. 165.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

implementasi Amanah dalam kehidpan berbangsa dan bernegara

Dalam a l-Qur`ân secara ekplisit menyebut amȃnah sebanyak enam ayat dengan kategori mufrad (tunggal), dan jamak nya, yaitu pada Q...