Dalam
mukaddimah cetakan pertama Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Sayyid Quṯb
menyatakan kepada kita tentang judul ini. Ia menyatakan:
“Ini adalah sebuah
judul yang tidak saya paksakan”. Ia adalah suatu hakikat yang pernah saya alami
dalam kehidupan. Dari waktu ke waktu saya mendapatkan di dalam jiwaku suatu
keinginan tersembunyi untuk suatu masa yang saya akan bisa hidup di bawah
naungan al-Qur’ȃn , yang akan memperoleh kedamaian di dalamnya dan tidak akan
saya dapatkan hal itu di bawah naungan selainnya”. Quṯb menganggap hidup
dibawah naungan al-Qur’ȃn sebagai suatu
kenikmatan yang akan mengangkat umur, memberkatinya, dan menyucikannya.[1]
Di dalam naungan ini banyak terdapat
inspirasi-inspirasi al-Qur’ȃn, petunjuk-petunjuknya, dan bimbingan-bimbingannya
yang harus benar-benar mendapat perhatian terhadap naungan-naungan ayat. Dan
tidak ada yang bisa memperhatikannya kecuali seorang pengkaji yang biasa
merasakan, yang dapat menangkapnya dengan
perasaannya yang tajam, khayalannya aktif, besertanya dan berada didalamnya.[3]
Sayyid Quṯb menganggap bahwa hidup di bawah naungan
ini adalah suatu ketenangan tersendiri yang tidak akan diketahui kecuali oleh
orang-orang yang telah merasakannya. Bagi penulis Quṯb adalah orang yang sudah
merasakan ketenanganya bersama al-Qur’â̂n,
seperti layaknya orang yang merasakan ketenangan bersama kekasihnya.[4]
Sedangkan
tahap penulisan yang penulis kutip dari al-Khalidi melewati beberapa tahapan[5]:
Pertama,
penulisan tafsir Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn dalam Majalah al-Muslimȗn (1951), Said Ramadhan
menerbitkan majalah al-Muslimun, sebuah majalah pemikiran Islam yang terbit
bulanan.[6]
Kedua,
penulisan tafsir Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn menjelang ditangkapnya
Sayyid Quṯb. Sayyid Quṯb
pada episode ketujuh dari episode penulisan tafsir Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn dalam
majalah al-Muslimun mengumumkan pemberhentian episode dan akan
meneruskan dalam menafsirkan al-Qur’ȃn secara utuh dalam sebuah kitab (Tafsir)
tersendiri, yang akan beliau luncurkan dalam juz-juz secara bersambung.
Ketiga,
Sayyid Quṯb menyempurnakan penulisan tafsir Fȋ
Ẕilȃl al-Qur’ȃn dalam penjara. Sayyid berhasil menerbitkan enam belas
juz dari penulisan tafsir Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn sebelum beliau
dipenjara. Kemudian beliau dijebloskan kedalam penjara untuk pertama kalinya,
dan tinggal di dalam penjara itu selama tiga bulan. Dan ketika di penjara
beliau menerbitkan dua juz penulisan tafsir Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn yaitu
juz ketujuh belas dan delapan belas.
[2] Lihat
Faizah Ali Syibromalisi dan Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik –
Modern,(Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2001), h.135.
[4] Karena perhatian Quṯb terhadap naungan itu serta
kehidupan beliau dengannya, maka beliau akhirnya melihat al-Qur’an seakan merupakan
rupa yang wujud yang bergerak seperti makluk hidup, sehingga Quṯb bisa
bersahabat dan berkawan dengannya, sebagaimana seorang teman dapat bersahabat dan berkawan dengan
sahabatnya.
Berdasarkan asumsi yang penulis kutip dari al Khalidi bahwa surat-surat yang ada di dalam al-Qur’an itu seluruhnya adalah teman. Setiap surat mencerminkan
seorang teman yang dekat, tercinta, dan menyenangkan, yang memiliki kepribadian
tersendiri dan ciri-ciri khusus. Berteman dengannya merupakan sebuah perjalanan
yang menyenangkan dan istimewaSalah Abdul Fatah Al-Khalidi, Pengantar Memahami Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, h. 117.
[6] Episode
pertamanya di muat dalam majalah Al-Muslimun edisi ketiga yang terbit
bulan Februari 1952. Dimulai dari tafsir surat Al-fatihah, dan diteruskan
dengan Surat Al-Baqarah dalam episode-episode berikutnya. Sayyid
mempublikasikan dalam tulisannya dalam majalah ini sebanyak tujuh episode dalam
tujuh edisi secara berurutan. Salah Abdul Fatah Al-Khalidi, Pengantar
Memahami Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, h. 55.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar