M. Quraish Shihab merupakan sosok intelektual yang sangat produktif. Ditengah kesibukannya yang luar-biasa sebagai dosen, pejabat tinggi, dan aktifis organisasi, beliau masih sempat menulis berbagai karya ilmiah yang bernuansa sejuk, sederhana dan mudah dipahami. Karya- karyanya yang telah ditulis baik berupa artikel, rubrik, maupun buku-buku sangat bayak.[1] Diantara tulisannya yang terkenal adalah Tafsîr al-Mis̱bâẖ. Buku ini dapat dikatakan sebagai karya puncak usahanya dalam tulisan. Terdiri dari 15 volume, tafsir ini mulai ditulis pada tahun 1999 hingga akhir tahun 2003. Kehadiran tafsir ini kiranya semakin mengkukuhkannya sebagai tokoh tafsir Indonesia bahkan Asia Tenggara dan dunia. Dan berikut adalah beberapa hal yang lebih terperinci mengenai Tafsîr al-Mis̱bâẖ sebagai berikut.
1.
Pemilihan Nama al-Mis̱bâẖ
Karya ini diberinama al-Mis̱bâẖ: Pesan, kesan dan Keserasian al- Qur’ân. Pemilihan nama al-Mishbâh
bukan tanpa dasar sama sekali, meskipun secara eksplist Quraish tidak menyebut
dasar penamaan. Paling tidak ada dua hal yang mendasari panamaan tersebut. Pertama,
di dalam kata pengantar ditemukan sedikit penjelasan. Sebagaimana diketahui,
nama tersebut berasal dari bahasa Arab yang artinya lampu, pelita, lentera atau
benda lain yang berfungsi serupa, yaitu memberi penerang bagi mereka yang berada
dalam kegelapan. Dengan demikian dapat diduga bahwa harapan beliau adalah
memberi penerang dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka
yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al- Qur’ân secara langsung karena
kendala bahasa.[2]
Kedua, didasarkan pada awal kegiatan Quraish dalam menulis di Jakarta. Kendati
kegiatan tulismenulis beliau sudah terlihat di Makassar sebagaimana dibuktikan
dari karyanya, namun produktifitas sebagai penulis mendapat monumennya setelah
beliau bermukim di Jakarta. Pada tahun 1980-an beliau diminta menjadi pengasuh
rubrik “Pelita Hati” pada Harian Pelita. Uraian-uraian yang disajiakannya
menarik banyak pihak. Itu karena dalam setiap tulisannya, beliau memberikan
nuansa yang sejuk, tidak bersifat menggurui dan menghakimi. Pada tahun 1994,
kumpulan tulisannya itu diterbitkan oleh Mizan dengan judul Lentera Hati, dari
sinilah nampaknya pengambilan nama al-Mishbâh itu berasal, yaitu bila dilihat
dari maknanya. Analisis yang dikemukakan adalah bahwa kumpulan tulisannya pada
rubrik “Pelita Hati” diterbitkan dengan judul Lentera Hati. Lentera merupakan
padanan kata dari pelita yang arti dan fungsinya sama-sama memberikan penerang.
Dalam bahasa arab lentera, pelita atau lampu disebut dengan mishbâh dan inilah yang
dipilih sebagai nama. Penerbitnya juga mempergunakan nama yang sama yakni
Lentera Hati.[3]
Motifasi yang melatar belakangi adalah hal yang niscaya ada pada suatu
karya apa pun, Tak terkecuali Tafsîr al-Mis̱bâẖ. Paling tidak ada dua alasan yang melatar belakangi penuisannya.
Pertama, motivasi itu didasarkan pada tanggung jawab moral penulisnya sebagai
ulama yang wajib memberikan penerangan kepada umat sesuai bidangnya. Rasa
tanggung jawab ini muncul ketika menyadari bahwa al-Qur’ân yang merupakan petunjuk
bagi manusia harus dipahami dan dimengerti maknanya. Tetapi kenyataan bahwa
umat Islam Indonesia mempunyai keterkaitan yang besar terhadap al-Qur’ân tetapi tidak mengerti isi pesan yang ada
dalam al-Qur’ân. Hal ini
disebabkan oleh kendala bahasa. Mengenai hal ini beliau menguraikan sebagai
berikut: “Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan al- Qur’ân dan
menyuguhkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya sesuai dengan harapan dan
kebutuhan itu”.[4]
Kedua, tidak sedikit umat Islam yang mempunyai keterkaitan yang luar biasa
terhadap makna-makna al-Qur’ân, tetapi mengalami beberapa kendala, terutama
waktu, ilmu-ilmu yang mendukung, dan kelangkaan buku-buku rujukan yang memadai
dari segi kecakupan informasi dan kejelasannya.
Motifasi
Quraish dalam menulis Tafsîr al-Mis̱bâẖ tersebut tampak sejalan dengan penegasan yang disampaikan oleh Ibn
Katsir dalam muqaddimah tafsirnya. “Adalah menjadi kewajiban para ulama untuk mengungkapkan
maksud dari kalam Ilahi, menafsirkannya, mempelajarinya, dan mengajarkannya”.[5]
2.
Sumber Penafsiran al-Mishbâh
Tafsîr al-Mis̱bâẖ dapat digolongkan sebagai tafsir bi al-ra’yî.[6] Kesimpulan
itu diambil dari pernyataan penulisnya yang diungkapkan pada akhir “Sekapur
Sirih” yang merupakan sambutan dari karya ini. Redaksi yang ditulisnya adalah
sebagai berikut:
“Akhirnya
penulis perlu menyampaikan kapada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini
bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil ulama-ulama terdahulu dan kontemporer,
serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil khususnya
pandangan pakar tafsir Ibrâhîm Umar al-Bi’qa’i (w. 885 H / 1480 M) yang karya
tafsirnya masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di
Universitas al-Azhâr, Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian juga karya
tafsir Pemimpin Tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muẖammad Thanthawi
al-Sya’rawî dan tidak ketinggalan pula Sayyid Quthub, Muẖammad Thahir ibn Asyur, Sayyid Muẖammad Husein Thabathaba’i, serta pakar-pakar tafsir
lainnya”.[7]
Pernyataannya
di atas mengisyaratkan, paling tidak dua
hal. Pertama, Sumber penafsirannya adalah ijtihadnya sendiri. Kedua, adalah
rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa ulama, baik ulama yang terdahulu
maupun yang masih hidup. Sementara itu, selain mengutip pendapat para ulama, Quraish
juga mempergunakan ayat-ayat al-Qur’ân dan ẖadits Nabi Saw. sebagai bahan dari
penjelasan tafsir yang dilakukan. Karena itu, Tafsîr
al-Mis̱bâẖ juga dapat
dikelompokan kedalam tafsir bi al-ra’yi yang mahmudah sebagaimana yang
diungkapkan oleh al-Zarqanî, berlaku pada tafsir bi alra’yi yang
memperhatikan norma-norma yang telah ditetapkannya.[8] Sedangkan
yang tidak merujuk seperti semestinya, maka penafsirannya dinilai madzmu̱maẖ. [9]
baca juga :
[1]Hamdan anwar,
“Telaah Kritis Terhadap Tafsîr al-Mis̱bâẖ Karya M. Quraish Shihab”,
Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002, h. 173 .
[2]M. Quraish
Shihab, Tafsîr al-Mis̱bâẖ. Pesan, Kesan
dan Keserasian al-Qur’ân, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), Vol.1, h. 176-177.
[3] Hamdani Anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsîr
al-Mis̱bâẖ Karya M. Quraish Shihab”, Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX,
No. 2, h. 176-177.
[6]Kata al-ra’yi
secara etimologis, berarti keyakinan, qiyas dan ‘Ijtihad. Jadi tafsir bi
alra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara ijatihad. Lihat Hamdani
Anwar , OP. Cit., h. 180. Lihat juga, Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’ân dan
pengenalan Methode Tafsir,
(Bandung: Pustaka Islamika, 2002),
h.306.
[8]al-Zarkasyi,
al-Burhan fi ‘Ulumul al-Qur’ân, (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah,1957),
jilid. II, h. 49.
[9]Al-Zarkasi
telah menetapkan norma-norma bagi tafsir bi al-ra’yi yang tercela ini adalah
sebagai berikut: Tidak merujuk pada al-Qur’ân dan Sunnah, tidak merujuk pada
riwayat sahabat, tidak memperhatikan kaidah dan aturan kebahasaan dengan tepat,
dan tidak menafsirkan sesuai dengan konteks redaksi ayat. Lihat al-Zarkasyi,
al-Burhan fi ‘Ulumul al-Qur’ân, (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1957),
jilid. II, h. 156-161.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar