Kamis, 23 April 2020

Mengenal Tafsîr al-Mis̱bâẖ karya Quraish Shihab



M. Quraish Shihab merupakan sosok intelektual yang sangat produktif. Ditengah kesibukannya yang luar-biasa sebagai dosen, pejabat tinggi, dan aktifis organisasi, beliau masih sempat menulis berbagai karya ilmiah yang bernuansa sejuk, sederhana dan mudah dipahami. Karya- karyanya yang telah ditulis baik berupa artikel, rubrik, maupun buku-buku sangat bayak.[1] Diantara tulisannya yang terkenal adalah Tafsîr al-Mis̱bâẖ. Buku ini dapat dikatakan sebagai karya puncak usahanya dalam tulisan. Terdiri dari 15 volume, tafsir ini mulai ditulis pada tahun 1999 hingga akhir tahun 2003. Kehadiran tafsir ini kiranya semakin mengkukuhkannya sebagai tokoh tafsir Indonesia bahkan Asia Tenggara dan dunia. Dan berikut adalah beberapa hal yang lebih terperinci mengenai Tafsîr al-Mis̱bâẖ sebagai berikut.
1.      Pemilihan Nama al-Mis̱bâẖ
Karya ini diberinama al-Mis̱bâẖ: Pesan, kesan dan Keserasian al- Qur’ân. Pemilihan nama al-Mishbâh bukan tanpa dasar sama sekali, meskipun secara eksplist Quraish tidak menyebut dasar penamaan. Paling tidak ada dua hal yang mendasari panamaan tersebut. Pertama, di dalam kata pengantar ditemukan sedikit penjelasan. Sebagaimana diketahui, nama tersebut berasal dari bahasa Arab yang artinya lampu, pelita, lentera atau benda lain yang berfungsi serupa, yaitu memberi penerang bagi mereka yang berada dalam kegelapan. Dengan demikian dapat diduga bahwa harapan beliau adalah memberi penerang dalam mencari petunjuk dan pedoman hidup terutama bagi mereka yang mengalami kesulitan dalam memahami makna al- Qur’ân secara langsung karena kendala bahasa.[2] Kedua, didasarkan pada awal kegiatan Quraish dalam menulis di Jakarta. Kendati kegiatan tulismenulis beliau sudah terlihat di Makassar sebagaimana dibuktikan dari karyanya, namun produktifitas sebagai penulis mendapat monumennya setelah beliau bermukim di Jakarta. Pada tahun 1980-an beliau diminta menjadi pengasuh rubrik “Pelita Hati” pada Harian Pelita. Uraian-uraian yang disajiakannya menarik banyak pihak. Itu karena dalam setiap tulisannya, beliau memberikan nuansa yang sejuk, tidak bersifat menggurui dan menghakimi. Pada tahun 1994, kumpulan tulisannya itu diterbitkan oleh Mizan dengan judul Lentera Hati, dari sinilah nampaknya pengambilan nama al-Mishbâh itu berasal, yaitu bila dilihat dari maknanya. Analisis yang dikemukakan adalah bahwa kumpulan tulisannya pada rubrik “Pelita Hati” diterbitkan dengan judul Lentera Hati. Lentera merupakan padanan kata dari pelita yang arti dan fungsinya sama-sama memberikan penerang. Dalam bahasa arab lentera, pelita atau lampu disebut dengan mishbâh dan inilah yang dipilih sebagai nama. Penerbitnya juga mempergunakan nama yang sama yakni Lentera Hati.[3]
Motifasi yang melatar belakangi adalah hal yang niscaya ada pada suatu karya apa pun, Tak terkecuali Tafsîr al-Mis̱bâẖ. Paling tidak ada dua alasan yang melatar belakangi penuisannya. Pertama, motivasi itu didasarkan pada tanggung jawab moral penulisnya sebagai ulama yang wajib memberikan penerangan kepada umat sesuai bidangnya. Rasa tanggung jawab ini muncul ketika menyadari bahwa al-Qur’ân yang merupakan petunjuk bagi manusia harus dipahami dan dimengerti maknanya. Tetapi kenyataan bahwa umat Islam Indonesia mempunyai keterkaitan yang besar terhadap al-Qur’ân tetapi tidak mengerti isi pesan yang ada dalam al-Qur’ân. Hal ini disebabkan oleh kendala bahasa. Mengenai hal ini beliau menguraikan sebagai berikut: “Adalah kewajiban para ulama untuk memperkenalkan al- Qur’ân dan menyuguhkan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya sesuai dengan harapan dan kebutuhan itu”.[4] Kedua, tidak sedikit umat Islam yang mempunyai keterkaitan yang luar biasa terhadap makna-makna al-Qur’ân, tetapi mengalami beberapa kendala, terutama waktu, ilmu-ilmu yang mendukung, dan kelangkaan buku-buku rujukan yang memadai dari segi kecakupan informasi dan kejelasannya.
Motifasi Quraish dalam menulis Tafsîr al-Mis̱bâẖ tersebut tampak sejalan dengan penegasan yang disampaikan oleh Ibn Katsir dalam muqaddimah tafsirnya. “Adalah menjadi kewajiban para ulama untuk mengungkapkan maksud dari kalam Ilahi, menafsirkannya, mempelajarinya, dan mengajarkannya”.[5]

2.      Sumber Penafsiran al-Mishbâh
Tafsîr al-Mis̱bâẖ dapat digolongkan sebagai tafsir bi al-ra’yî.[6] Kesimpulan itu diambil dari pernyataan penulisnya yang diungkapkan pada akhir “Sekapur Sirih” yang merupakan sambutan dari karya ini. Redaksi yang ditulisnya adalah sebagai berikut:
“Akhirnya penulis perlu menyampaikan kapada pembaca bahwa apa yang dihidangkan disini bukan sepenuhnya ijtihad penulis. Hasil ulama-ulama terdahulu dan kontemporer, serta pandangan-pandangan mereka sungguh banyak penulis nukil khususnya pandangan pakar tafsir Ibrâhîm Umar al-Bi’qa’i (w. 885 H / 1480 M) yang karya tafsirnya masih berbentuk manuskrip menjadi bahan disertasi penulis di Universitas al-Azhâr, Kairo, dua puluh tahun yang lalu. Demikian juga karya tafsir Pemimpin Tertinggi al-Azhar dewasa ini, Sayyid Muẖammad Thanthawi al-Sya’rawî dan tidak ketinggalan pula Sayyid Quthub, Muẖammad  Thahir ibn Asyur, Sayyid Muẖammad  Husein Thabathaba’i, serta pakar-pakar tafsir lainnya”.[7]
Pernyataannya di atas mengisyaratkan, paling tidak dua hal. Pertama, Sumber penafsirannya adalah ijtihadnya sendiri. Kedua, adalah rujukan yang berasal dari pendapat dan fatwa ulama, baik ulama yang terdahulu maupun yang masih hidup. Sementara itu, selain mengutip pendapat para ulama, Quraish juga mempergunakan ayat-ayat al-Qur’ân dan ẖadits Nabi Saw. sebagai bahan dari penjelasan tafsir yang dilakukan. Karena itu, Tafsîr al-Mis̱bâẖ juga dapat dikelompokan kedalam tafsir bi al-ra’yi yang mahmudah sebagaimana yang diungkapkan oleh al-Zarqanî, berlaku pada tafsir bi alra’yi yang memperhatikan norma-norma yang telah ditetapkannya.[8] Sedangkan yang tidak merujuk seperti semestinya, maka penafsirannya dinilai madzmu̱maẖ. [9]

baca juga : 





[1]Hamdan anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsîr al-Mis̱bâẖ Karya M. Quraish Shihab”, Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No. 2, 2002, h. 173 .
[2]M. Quraish Shihab, Tafsîr al-Mis̱bâẖ. Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’ân, (Ciputat: Lentera Hati, 2000), Vol.1, h. 176-177.
[3]  Hamdani Anwar, “Telaah Kritis Terhadap Tafsîr al-Mis̱bâẖ Karya M. Quraish Shihab”, Mimbar Agama dan Budaya, Vol. XIX, No. 2, h. 176-177.
[4]M.Quraish shihab, Membumikan al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. 12 .
[5] Ibn Katsir, Tafsir Ibn Katsir, (Kairo: Mathba’ah al-Istiqâmah, 1958), jilid. 1, h. 3.
[6]Kata al-ra’yi secara etimologis, berarti keyakinan, qiyas dan ‘Ijtihad. Jadi tafsir bi alra’yi adalah penafsiran yang dilakukan dengan cara ijatihad. Lihat Hamdani Anwar , OP. Cit., h. 180. Lihat juga, Supiana dan M. Karman, Ulumul Qur’ân dan pengenalan Methode Tafsir,
(Bandung: Pustaka Islamika, 2002), h.306.
[7]M.Quraish shihab, Membumikan al Qur’an, (Bandung: Mizan, 1992), h. Xii.
[8]al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumul al-Qur’ân, (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah,1957), jilid. II, h. 49.
[9]Al-Zarkasi telah menetapkan norma-norma bagi tafsir bi al-ra’yi yang tercela ini adalah sebagai berikut: Tidak merujuk pada al-Qur’ân dan Sunnah, tidak merujuk pada riwayat sahabat, tidak memperhatikan kaidah dan aturan kebahasaan dengan tepat, dan tidak menafsirkan sesuai dengan konteks redaksi ayat. Lihat al-Zarkasyi, al-Burhan fi ‘Ulumul al-Qur’ân, (Kairo: Dar Ihya’ al-Kutub al-Arabiyah, 1957), jilid. II, h. 156-161.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

implementasi Amanah dalam kehidpan berbangsa dan bernegara

Dalam a l-Qur`ân secara ekplisit menyebut amȃnah sebanyak enam ayat dengan kategori mufrad (tunggal), dan jamak nya, yaitu pada Q...