Jumat, 24 April 2020

Membudayakan Musyawarah dalam Islam


Dilihat dari aspek bahasa, makna musyawarah diambil dari kata syura, sebagaimana diterangkan dalam al-Mufradat, ia diambil dari syirtul-asala (aku memeras madu), waasartuhu akhrajtuhu (aku memerasnya berarti mengeluarkannya). Maksud musyawarah adalah untuk minta pendapat dari para peserta musyawarah, sehingga mengambil yang terbaik dan yang benar. Menurut istilah musyawarah itu sebagai itu sebagai upaya mengambil dan mempertimbangkan perndapat orang lain terhadap masalah yang dibicarakan.[1]
Al-Razi menyatakan, al-musyȃwarah adalah al-syȗra, demikian juga al-masyȗrah.[2] Asal kata musyawarah berasal dari kata (Syin, Wa dan Ra) yang pada mulanya berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah.[3]
Makna ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil dan dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya di gunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.[4]
Sedangkan kata (Musyȃwaroh) yang merupakan bentuk masdȃr  dari kata kerja (Syȃwara-Yusyȃwiru) berarti meminta pendapat,[5] meminta nasihat atau petunjuk.[6] Sedangkan al-Mahally mengartikan mengeluarkan pendapat.[7]
Secara istilah, Ibn al-’Arabi berkata, sebagian ulama berpendapat bahwa musyawarah adalah berkumpul untuk membicarakan suatu perkara agar masing-masing meminta pendapat yang lain dan mengeluarkan apa saja yang ada dalam dirinya.[8] Sedangkan al-Alusi menulis dalam kitabnya:
 al-Raghib berkata: musyawarah adalah mengeluarkan pendapat dengan mengembalikan sebagiannya pada sebagian yang lain, yakni menimbang satu pendapat dengan pendapat yang lain untuk mendapat satu pendapat yang disepakati”.[9]

Ada tiga ayat yang menunjukkan akar katanya kepada makna musyawarah, yaitu Al-Baqarah/2:233[10], Al-Imran/ 3:159[11], Al-Syura/42:38[12].
Kata Syura pada QS As-Syȗrȃ/42:38 menunjukan seluruh persoalan mereka diputuskan melalui musyawarah. Menurut Sayyid Quṯb, “...musyawarah merupakan karakter masyarakat Islam dalam segala kondisinya, walaupun pemerintahan dengan konsepnya yang khas belum lagi berdiri. Kenyataannya dalam Islam pemerintahan itu tiada lain kecuali pemunculan tabiat masyarakat dan karakteristik individunya. Masyarakatlah yang menjamin pemerintah dan mendorongnya dalam merealisasikan manhaj Islami[13] dan melindungi kedupan individu dan masyarakat”...[14]
Sayyid Quṯb berpendirian bahwa sistem Islam merupakan satu asas yang lengkap dan sempurna. Sistem Islam merupakan sistem yang khas, sehingga Sayyid Quṯb tidak sependapat dengan pemikiran-pemikiran yang mencari kemiripan antara sistem Islam dengan sistem-sistem lain. Sistem Islam tidak memerlukan dukungan dari kemiripan dan kesamaannya dengan sistem lain, karena hal itu merupakan perasaan rendah diri yang tidak akan mungkin dikemukakan oleh seorang penulis Islam sepanjang ia memahami hakekat ajaran Islam dan melakukan pembahasan dengan sejujur-jujurnya.[15] Pandangan Sayyid Quṯb mencerminkan bahwa Islam tidak anti terhadap nilai-nilai yang diperjuangkan dalam sistem demokrasi.[16]
Fathi Othman dalam bukunya Min Ushūl al-Fikr al-Siyȃsi.[17] Menerangkan QS as-Syȗrȃ/ 42: 38 dan QS al-Imrȃn/ 3: 159 bahwa:
“Prinsip musyawarah dalam praktek pemerintahan Islam adalah khas dan original. Pada masa kemuduran Islam, banyak pemimpin pemerintahan Islam berupaya mempersamakan antara konsep demokrasi dan konsep Islam tentang al- Shūra. Musyawarah (Shûra) dalam Islam merupakan konsep yang original, ia merupakan proses integral berfungsinya negara Islam, karena ia satu-satunya institusi yang menurut berbagai interpretasi para Muslim bersifat otoritatif meneladani perilaku Rasūlullāh SAW”.[18]

Musyawarah merupakan prinsip penting dalam menegakkan kemaslahatan, baik yang bersifat individual, sosial, maupun pemerintahan. Dikatakan kemaslahatan karena munculnya musyawarah pada awalnya, bukan urusan bersifat syar’i, tetapi dalam melaksanakan ketentuan hasil ijtihad pelaksanaan syariat sendiri.[19]
Di dalam al-Qur`ân ditemukan ayat yang menganjurkan kepada kita untuk bermusyawarah (QS Al-Imrȃn/3: 159). Kata musyȃwarah dalam ayat ini dijelaskan bahwa Rosulullah selalu bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, termasuk dalam urusan peperangan.[20]
Para sahabat merasa bersalah dan takut kalau Rasulullah tidak mengajak bermusyawarah lagi, karena ide keluar menemui musuh adalah dari mereka. Yang demikian sebagaimana dikatan Muhammad Ṯȃhir bin ‘Asyȗr, dalam perperangan uhud Rasulullah menerima ide para sahabat dalam bermusyawarah, yang demikian sumber dari perasaan hina (merasa bersalah) yang ada pada mereka[21]
Begitu juga Ibnu Katsir mengatakan bahwa:
“Rasulullah telah bermusyawarah dengan para shahabat dalam perang Uhud untuk menentukan tindakan, tetap tinggal di Madinah atau keluar mengahadapi musuh. Para sahabat memilih keluar menghadapi musuh, maka keluarlah (pasukan muslim) menghadapi mereka”.[22]

Menurut Abu Bakar al-Jazairi, kegagalan ini tidak membuat Rasulullah mencela dan membenci mereka pada peperangan Uhud, namun Rasulullah bersikap lemah lembut pada mereka. Yang demikian Allah memberitahukan, bahwa itu semua merupakan taufik yang Allah berikan pada beliau.[23]
Di dalam hadits ditemukan tentang muyawarah:
إن امتي لا تجتمع على ضلال، فإذا رأيتم إختلافا فعليكم بالسواد الأعظم .
“Sesungguhnya umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan, kerana itu jika terjadi perselisihan maka ikutilah suara terbanyak” (Hadits Anas bin Malik).[24]

Nabi telah bermusyawarah dalam memutuskan Perang Badȃr  dan dalam memutuskan untuk keluar kota atau tidak dalam perang uhud. Disamping itu, masih sangat banyak contoh-contoh tentang kebiasaan Nabi untuk bermusyawarah. Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa “…jika kepala negara tidak mau bermusyawarah dengan ahlul ilmi wad din maka menurunkannya adalah wajib”...[25]
Kemudian al-Qur`ân memberikan arahan dan solusi jika terjadi sesuatu yang berlainan pendapat, maka musyawarah ada jalan keluarnya (QS an-Nisȃ/4: 59). Ayat ini menjelaskan bahwa kaum muslimin jika terjadi perselisihan maka hendaklah diselesaikan sesuai dengan hukum Allah dan rosulnya.[26]
Quṯb menjelaskan bahwa disana terdapat kaidah niẕȃm asȃsi (peraturan pokok) bagi kaum muslimin, kaidah hukum, dan sumber kekuasaan. semuanya di mulai dan diakhiri dengan menerimanya dari Allah saja, dan kembali kepada-Nya saja mengenai hal-hal yang tidak ada nashnya, sesungguhnya kedaulatan hukum itu hanya milik Allah, bagi kehidupan manusia, dalam urusan yang besar maupun kecil.[27]
Begitu al-Qur’ȃn menganjurkan bermusyawarah (QS al-baqarah/2:233) yang telah disebutkan diatas, bagi Quṯb tasyȃwur dalam ayat itu menjelaskan bahwa memusyawarahkan kemaslahatan anak yang menjadi tanggung jawab mereka untuk memeliharanya.[28]
Dalam hadis terdapat anjuran bermusyawarah dan larangan memutuskan perkara sendiri:
أجمعوا له العالمين من المؤمنين واجعلوه شورى بينكم ولا تقضوا فيه برأي واحد
“Hendaklah kamu adakan kerapatan dengan orang-orang yang beriman, dan adakan lah permusyawaratan di antara kamu dan janganlah kamu memutuskan dengan fikiran sendiri” (Riwayat Imam Ibn Abdil- Barr).[29]

Al-Qurṯubi dalam tafsirnya menyatakan tentang musyȃwarah:
Dalam urusan hukum agama seharusnya dilakukan oleh orang yang berilmu. Sedangkan dalam urusan dunia orang yang diajak musayawarah adalah orang yang berakal (mengerti dalam perkara yang dibicarakan).[30] Sesunguhnya musyawarah adalah di antara bentuk ibadah-ibadah untuk mendekatkan pada Allah”.[31]
Begitu juga Imam syafi’ie mengatakan “...orang yang diajak musyawarah adalah orang yang berilmu dan juga dapat dipercaya”...[32] Oleh karenanya, tidak sepatutnya mengajak orang bodoh (tidak mengerti permasalahan) untuk musyawarah, karena tidak ada manfaatnya dan juga tidak mengajak orang yang berilmu tapi tidak dapat dipercaya, karena bisa saja dia malah menyesatkan. Rasulullah bersabda,
الْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ.
“Yang diajak bermusyawarah (diminta pendapatnya) adalah orang yang dapat dipercaya.”(diriwayatkan oleh Abu Daud dan Dibenarkan oleh Albani)[33]

Nilai-nilai demokrasi yang diperjuangkan oleh masyarakat dewasa ini, memiliki beberapa kesamaan konsep dengan dasar pemerintahan Islam yang telah ditawarkan oleh Sayyid Quṯb, yaitu; permusyawaratan antara penguasa dengan rakyat. Menurut Sayyid Quṯb permusyawaratan merupakan salah satu prinsip di antara prinsip-prinsip pemerintahan Islam; sedangkan tehnisnya secara khusus tidak ditetapkan.[34]
Begitu juga ayat yang menjelaskan bagaimana seharusnya hubungan suami isteri sebagai mitra dalam rumah tangga saat mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak mereka (seperti menyapih anak) dengan jalan musyawarah. Allah juga berfirman pada QS. At-Thalaq: 6. Ibnu katsir mengatakan, di dalam menyapih anak, kedua orang tua harus mengadakan musyawarah. Tidak diperbolehkan penyapihan yang dilakukan tanpa ada musyawarah.[35]
Di antara faidah-faidah yang dapat dipetik dari musyawarah adalah: sungguhnya musyawarah merupakan di antara bentuk ibadah-ibadah sebagai pendekatan pada Allah. Memecahkan masalah-masalah yang terpendam dalam hati. Dalam musyawarah terdapat tukar pikiran. Dengan demikian akan menambah ide-ide (baru). Dengan musyawarah tidak akan saling menyalahkan dalam berbuat (karena ada rasa memiliki terhadap isi keputusan musyawarah tersebut dan dapat mempertanggungjawabkannya secara bersama-sama).[36]

baca juga : 






[1] Departemen Agama RI, Tafsȋr al-Qur’ȃn Tematik; Al-Qur’ȃn dan Kernegaraan, h.121.
[2] Al-Fakhr al-Razi, Tafsȋr al-Fakhr al-Rȃzi (Bairut: Dȃr  al-Nasyr, t.t.), jilid. 1, h. 1291.
[3] Ibnu Mandhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab (Bairut: Dȃr  Shadir, t.t.), jilid. 4, h. 434.
[4] Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`ân (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), h 469.
[5]  Ibrahim Musthafa, al-Mu'jam al-Wasiṯ  (Riyadh: Dȃr  al-Da'wah, t.t.) , jilid 1, h. 499.
[6] Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah (Bairut: Dȃr  al-Masyriq, 1998), h. 407.
[7] Al-Mahilly dan al-Suyuthi, Tafsir al-Jalȃlain (Kairo: Dȃr  al-Hadits, t.t.), h. 88.
[8]  Ibnu al-̒Arabi, Ahkȃm al-Qur’ȃn, jilid. 1, h. 298.
[9]  Mahmud al-Alusi, Rȗh al-Ma'ȃni fȋ Tafsȋr al-Qur’ȃn al-Adhȋm wa al-Sab' al-Matsȃni (Bairut: Dȃr  al-Ihya' al-Turts al-Arabi, t.t.), jilid 25, h. 46.
[10] Ayat ini membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan berkaitan denga rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak. Pada ayat diatas Al-Qur`ân memberi petunjuk agar persoalan itu (dan juga persoalan-persoalan rumah tangga lainnya) dimusyararahkan antara suami dan istri. Lihat  M Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`ân, h. 470.
[11] Ayat ini dari segi redaksional di tunjukkan kepada Nabi Muhammad Saw. Agar memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat-sahabat atau anggota masyarakatnya. Tetapi seperti yang akan dijelaskan lebih jauh, ayat ini merupakan petunjuk kepada setiap muslim, khususnya kepada setiap pemimpin agar bermusyawarah dengan anggota-anggotanya. Lihat M Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`ân, h. 470.
[12] Ayat ini turun sebagai pujian kepada kelompok muslim madinah (Anshar) yang bersedia membela nabi Saw damn menyepakati hal tersebut melalui musyawarah. Namun dugaan tersebut akan sirna. Jika menyadari cara al-Qur`ân memberi petunjuk serta menggali lebih jauh kandungan ayat-ayat tersebut.  Lihat M Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`ân, h. 471.
[13] Islam datang kepada manusia dengan membawa pikiran yang baru tentang kehidupan secara global, yaitu pikiran yang tidak mengembangkan pemikiran sebelumnya. tetapi ia pikiran yang baru dan sempurna bagi manusia. Ia mengikuti keketapan dari manusia saja, tetapi ia datang dari wahyu Allah untuk menjadikan umat yang baru. sebagaimana firman Allah “Kuntum khoiru ummatin ukrijat linnȃs”, dan pemikiran ini adalah pemikiran yang mempunyai pengaruh yang luas kepada aspek kehidupan manusia. Lihat Sayyid Quṯb, Khosȏis at-Tashawwur al-Islȃmi wa Muqowwimȃtuhu, h. 30-31.
[14] Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Jilid. V, h. 3165. Syur adalah nilai-nilai dasar Islam yang harus digunakan dalam kehidupan seseorang, keluarga, masyarakat dalam menyelesaikan persoalan secara bersama-sama. Bahwasannya Islam telah menolak jenis negara yang otoritas, despotis, fasis bahkan totaliter. Karena sistem ini bisa membunuh hak politik rakyat yang didasarkan pada prinsip syura atau musyawarah, sehingga pemerintahan yang tidak melakukan musyawarah, dianggap bertentangan dengan Islam. Seperti, sistem monarki atau kerajaan yang berlaku, di mana sistem ini pengangkatannya melalui garis keturunan tidak melalui rakyat. Musthafa Ṯahhan, Tantangan Politik Negara Islam (Malang: Zamzami, 2003), h. 38.
[15] Sayyid Quṯb, al-‘Adālah al-Ijtimā’iyyah fī al-Islām, h. 123.
[16]  Demokrasi secara etimologis terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan “cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan/kedaulatan, pemerintahan. Jadi “demos-cratein” atau “demos-cratos” (demokrasi) adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat. Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 50.
[17]  M. Fathi Othman, Min Ushȗl al-Fikr al-Siyȃsi (Beirut: al-Risalah, 1984), h. 48.
[18]  Bernard Lewis, et.al. Islam Liberalisme Demokrasi, ter. Mun'im A. Sirry (Jakarta:
Paramadina: 2002), h. 183.
[19] Departemen Agama RI. Tafsȋr al-Qur’ȃn Tematik; Al-Qur’ȃn dan Kernegaraan, h. 120-121.
[20] Departemen Agama RI, Al-Qur’ȃn dan Tafsirnya, Vol. II, h. 68.
[21] Muhammad Ṯȃhir bin 'Asyȗr, al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr (Tunis: Dȃr  Sahnun li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1997), jilid. 4, h. 147.
[22]  Ibnu Katsȋr, Tafsir Ibnu Katsȋr  (Mesir: Dȃr  Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t),  jilid 2, h. 149.
[23] Abu Bakar al-Jazairi, Aisar al-Tafasȋr li al-Kalȃm al-'Ȃli al-Kabȋr (Madinah: Maktabah al-Ulȗm wa al-Hikam, 2003), jilid. 1, h. 402.
[24] Abu Abdillah Muhammad bin Yazid bin Mȃjah, Sunan Ibnu Mȃjah, bab Sawad al-̒A’ẕom (Kairo: Dȃr ihya al-Kutub al-Arabiyyah, t.t) Juz II, no. 3050, h. 1303.
[25] Jalaluddin Rakhmat, Islam Alternatif; Ceramah-ceramah di Kampus (Bandung: Mizan: 2004), h. 20.
[26] Departemen Agama RI, Al-Qur’ȃn dan Tafsirnya, Vol. h. 198-199.
[27] Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Vol. II, h. 399.
[28] Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Vol. I, h. 302.
[29] Abu Yusuf Umar bin Abdillah bin Muhammad bin Abdul Bar bin ‘Asim bin an-Namiri al-Qurtubi, Jȃmi al-bayȃn al-Ilmi wa fadlihi (Saudi Arabia, Dȃr Ibnu Jauzi, 1994), Bab Ijtihȃd ar-Ra̒i, juz. 2. No. 1611, h. 852.
[30] Syamsuddin al-Qurṯubi, al-Jȃmi' al-Ahkȃm (Riyadh: Dȃr  'Alim al-Kutub, 2003), jilid. 4, h.  250.
[31] Abdurrahman bin Nas̱ir bin al-Sa'di, Taisȋr al-Karȋm al-Rahman fȋ Tafsȋr Kalȃm al-Mannȃn (Bairut: Muassasah al-Rislah, 2000), jilid. 1, h. 154.
[32] Al-Baihaqi, al-Sunan al-Kubrȃ fȋ ẕȃilihi al-Jauhar (India: Majlis Dairah al-Ma'ȃrif al-Nidhȃmiyah al-Kainah, 1344 H), jilid. 10, h. 110.
[33] Abu Daud, Sunan Abu Daud (Bairut: Dȃr  al-Kitab al-Arabi, t.t.), jilid. I, h. 203.
[34] Sayyid Quṯb, al-‘Adālah al-Ijtimā’iyyah fī al-Islām, h. 129-133.
[35] Ibnu Katsir, Tafsȋr Ibnu Katsȋr (Beirut: Dȃr Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi', 1999), jilid. 1, h. 635.
[36] Abdurrahman bin Nashir bin al-Sa'di, Taisȋr al-Karȋm al-Rahmȃn fi Tafsȋr Kalȃm al-Mannȃn, jilid. 1, h. 154.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

implementasi Amanah dalam kehidpan berbangsa dan bernegara

Dalam a l-Qur`ân secara ekplisit menyebut amȃnah sebanyak enam ayat dengan kategori mufrad (tunggal), dan jamak nya, yaitu pada Q...