Dilihat dari aspek bahasa, makna musyawarah diambil dari
kata syura, sebagaimana diterangkan dalam al-Mufradat, ia diambil dari syirtul-asala
(aku memeras madu), waasartuhu akhrajtuhu (aku memerasnya berarti
mengeluarkannya). Maksud musyawarah adalah untuk minta pendapat dari para
peserta musyawarah, sehingga mengambil yang terbaik dan yang benar. Menurut
istilah musyawarah itu sebagai itu sebagai upaya mengambil dan mempertimbangkan
perndapat orang lain terhadap masalah yang dibicarakan.[1]
Al-Razi menyatakan, al-musyȃwarah adalah al-syȗra, demikian
juga al-masyȗrah.[2] Asal kata musyawarah berasal dari kata (Syin, Wa dan Ra) yang pada mulanya berarti mengeluarkan madu dari sarang lebah.[3]
Makna
ini kemudian berkembang, sehingga mencakup segala sesuatu yang dapat diambil
dan dikeluarkan dari yang lain (termasuk pendapat). Musyawarah dapat juga
berarti mengatakan atau mengajukan sesuatu. Kata musyawarah pada dasarnya hanya
di gunakan untuk hal-hal yang baik, sejalan dengan makna dasarnya.[4]
Sedangkan kata (Musyȃwaroh) yang merupakan
bentuk masdȃr dari kata kerja (Syȃwara-Yusyȃwiru) berarti
meminta pendapat,[5]
meminta nasihat atau petunjuk.[6]
Sedangkan al-Mahally mengartikan mengeluarkan pendapat.[7]
Secara istilah,
Ibn al-’Arabi berkata, sebagian ulama berpendapat bahwa musyawarah adalah
berkumpul untuk membicarakan suatu perkara agar masing-masing meminta pendapat
yang lain dan mengeluarkan apa saja yang ada dalam dirinya.[8] Sedangkan al-Alusi menulis dalam kitabnya:
“al-Raghib berkata: musyawarah
adalah mengeluarkan pendapat dengan mengembalikan sebagiannya pada sebagian
yang lain, yakni menimbang satu pendapat dengan pendapat yang lain untuk
mendapat satu pendapat yang disepakati”.[9]
Ada
tiga ayat yang menunjukkan akar katanya kepada makna musyawarah, yaitu
Al-Baqarah/2:233[10],
Al-Imran/ 3:159[11],
Al-Syura/42:38[12].
Kata
Syura pada QS As-Syȗrȃ/42:38 menunjukan seluruh persoalan mereka diputuskan
melalui musyawarah. Menurut Sayyid Quṯb, “...musyawarah
merupakan karakter masyarakat Islam dalam segala kondisinya, walaupun
pemerintahan dengan konsepnya yang khas belum lagi berdiri. Kenyataannya dalam
Islam pemerintahan itu tiada lain kecuali pemunculan tabiat masyarakat dan
karakteristik individunya. Masyarakatlah yang menjamin pemerintah dan
mendorongnya dalam merealisasikan manhaj Islami[13]
dan melindungi kedupan individu dan masyarakat”...[14]
Sayyid Quṯb
berpendirian bahwa sistem Islam merupakan satu asas yang lengkap dan sempurna.
Sistem Islam merupakan sistem yang khas, sehingga Sayyid Quṯb tidak sependapat
dengan pemikiran-pemikiran yang mencari kemiripan antara sistem Islam dengan
sistem-sistem lain. Sistem Islam tidak memerlukan dukungan dari kemiripan dan
kesamaannya dengan sistem lain, karena hal itu merupakan perasaan rendah diri
yang tidak akan mungkin dikemukakan oleh seorang penulis Islam sepanjang ia
memahami hakekat ajaran Islam dan melakukan pembahasan dengan sejujur-jujurnya.[15]
Pandangan Sayyid Quṯb mencerminkan bahwa Islam tidak anti terhadap nilai-nilai
yang diperjuangkan dalam sistem demokrasi.[16]
Fathi Othman
dalam bukunya Min Ushūl al-Fikr al-Siyȃsi.[17]
Menerangkan QS as-Syȗrȃ/ 42: 38 dan QS al-Imrȃn/ 3: 159 bahwa:
“Prinsip musyawarah dalam praktek
pemerintahan Islam adalah khas dan original. Pada masa kemuduran Islam, banyak
pemimpin pemerintahan Islam berupaya mempersamakan antara konsep demokrasi dan
konsep Islam tentang al- Shūra. Musyawarah (Shûra) dalam Islam merupakan konsep
yang original, ia merupakan proses integral berfungsinya negara Islam, karena
ia satu-satunya institusi yang menurut berbagai interpretasi para Muslim bersifat
otoritatif meneladani perilaku Rasūlullāh SAW”.[18]
Musyawarah
merupakan prinsip penting dalam menegakkan kemaslahatan, baik yang bersifat
individual, sosial, maupun pemerintahan. Dikatakan kemaslahatan karena
munculnya musyawarah pada awalnya, bukan urusan bersifat syar’i, tetapi dalam
melaksanakan ketentuan hasil ijtihad pelaksanaan syariat sendiri.[19]
Di
dalam al-Qur`ân ditemukan ayat yang menganjurkan kepada kita untuk
bermusyawarah (QS Al-Imrȃn/3: 159). Kata musyȃwarah dalam ayat ini dijelaskan
bahwa Rosulullah selalu bermusyawarah dengan mereka dalam segala hal, termasuk
dalam urusan peperangan.[20]
Para sahabat merasa bersalah dan
takut kalau Rasulullah tidak mengajak bermusyawarah lagi, karena ide keluar
menemui musuh adalah dari mereka. Yang demikian sebagaimana dikatan Muhammad Ṯȃhir
bin ‘Asyȗr, dalam perperangan uhud Rasulullah menerima ide para sahabat dalam
bermusyawarah, yang demikian sumber dari perasaan hina (merasa bersalah) yang ada pada mereka[21]
Begitu juga Ibnu Katsir mengatakan
bahwa:
“Rasulullah telah bermusyawarah dengan para shahabat
dalam perang Uhud untuk menentukan tindakan, tetap tinggal di Madinah atau
keluar mengahadapi musuh. Para sahabat memilih keluar menghadapi musuh, maka
keluarlah (pasukan muslim) menghadapi mereka”.[22]
Menurut Abu Bakar
al-Jazairi, kegagalan ini tidak membuat Rasulullah mencela dan membenci mereka pada
peperangan Uhud, namun Rasulullah bersikap lemah lembut pada mereka. Yang demikian
Allah memberitahukan, bahwa itu semua merupakan taufik yang Allah berikan pada
beliau.[23]
Di dalam hadits ditemukan tentang
muyawarah:
إن امتي لا تجتمع على ضلال،
فإذا رأيتم إختلافا فعليكم بالسواد الأعظم .
“Sesungguhnya
umatku tidak akan bersatu dalam kesesatan, kerana itu jika terjadi perselisihan
maka ikutilah suara terbanyak” (Hadits Anas bin Malik).[24]
Nabi
telah bermusyawarah dalam memutuskan Perang Badȃr dan dalam memutuskan untuk keluar kota atau
tidak dalam perang
uhud.
Disamping itu, masih sangat banyak contoh-contoh tentang kebiasaan Nabi untuk
bermusyawarah. Jalaluddin Rakhmat mengatakan bahwa “…jika kepala negara tidak
mau bermusyawarah dengan ahlul ilmi wad din maka menurunkannya adalah wajib”...[25]
Kemudian
al-Qur`ân memberikan arahan dan solusi jika terjadi sesuatu yang berlainan
pendapat, maka musyawarah ada jalan keluarnya (QS an-Nisȃ/4: 59). Ayat ini
menjelaskan bahwa kaum muslimin jika terjadi perselisihan maka hendaklah
diselesaikan sesuai dengan hukum Allah dan rosulnya.[26]
Quṯb
menjelaskan bahwa disana terdapat kaidah niẕȃm
asȃsi (peraturan pokok) bagi kaum muslimin, kaidah hukum, dan sumber
kekuasaan. semuanya di mulai dan diakhiri dengan menerimanya dari Allah saja,
dan kembali kepada-Nya saja mengenai hal-hal yang tidak ada nashnya,
sesungguhnya kedaulatan hukum itu hanya milik Allah, bagi kehidupan manusia,
dalam urusan yang besar maupun kecil.[27]
Begitu
al-Qur’ȃn menganjurkan bermusyawarah (QS al-baqarah/2:233) yang telah
disebutkan diatas, bagi Quṯb tasyȃwur dalam ayat itu menjelaskan bahwa
memusyawarahkan kemaslahatan anak yang menjadi tanggung jawab mereka untuk
memeliharanya.[28]
Dalam
hadis terdapat anjuran bermusyawarah dan larangan memutuskan perkara sendiri:
أجمعوا له العالمين من المؤمنين
واجعلوه شورى بينكم ولا تقضوا فيه برأي واحد
“Hendaklah kamu
adakan kerapatan dengan orang-orang yang beriman, dan adakan lah
permusyawaratan di antara kamu dan janganlah kamu memutuskan dengan fikiran sendiri” (Riwayat Imam
Ibn Abdil- Barr).[29]
Al-Qurṯubi dalam tafsirnya
menyatakan tentang musyȃwarah:
Dalam urusan hukum agama seharusnya dilakukan
oleh orang yang berilmu. Sedangkan dalam urusan dunia orang yang diajak
musayawarah adalah orang yang berakal (mengerti dalam perkara yang
dibicarakan).[30]
Sesunguhnya musyawarah adalah di antara bentuk ibadah-ibadah untuk mendekatkan
pada Allah”.[31]
Begitu juga Imam syafi’ie mengatakan
“...orang yang diajak musyawarah adalah orang yang berilmu dan juga dapat dipercaya”...[32]
Oleh karenanya, tidak sepatutnya mengajak orang bodoh (tidak mengerti
permasalahan) untuk musyawarah, karena tidak ada manfaatnya dan juga tidak
mengajak orang yang berilmu tapi tidak dapat dipercaya, karena bisa saja dia
malah menyesatkan. Rasulullah bersabda,
الْمُسْتَشَارُ مُؤْتَمَنٌ.
“Yang diajak bermusyawarah (diminta pendapatnya)
adalah orang yang dapat dipercaya.”(diriwayatkan oleh Abu Daud dan Dibenarkan oleh Albani)[33]
Nilai-nilai
demokrasi yang diperjuangkan oleh masyarakat dewasa ini, memiliki beberapa
kesamaan konsep dengan dasar pemerintahan Islam yang telah ditawarkan oleh
Sayyid Quṯb, yaitu; permusyawaratan antara penguasa dengan rakyat. Menurut
Sayyid Quṯb permusyawaratan merupakan salah satu prinsip di antara
prinsip-prinsip pemerintahan Islam; sedangkan tehnisnya secara khusus tidak
ditetapkan.[34]
Begitu juga ayat yang menjelaskan
bagaimana seharusnya hubungan suami isteri sebagai mitra dalam rumah tangga saat
mengambil keputusan yang berkaitan dengan rumah tangga dan anak-anak mereka
(seperti menyapih anak) dengan jalan musyawarah. Allah juga berfirman pada QS.
At-Thalaq: 6. Ibnu katsir mengatakan, di dalam menyapih anak, kedua orang tua
harus mengadakan musyawarah. Tidak diperbolehkan penyapihan yang dilakukan
tanpa ada musyawarah.[35]
Di antara faidah-faidah yang dapat
dipetik dari musyawarah adalah: sungguhnya musyawarah merupakan di antara
bentuk ibadah-ibadah sebagai pendekatan pada Allah. Memecahkan masalah-masalah
yang terpendam dalam hati. Dalam musyawarah terdapat tukar pikiran. Dengan
demikian akan menambah ide-ide (baru). Dengan musyawarah tidak akan saling
menyalahkan dalam berbuat (karena ada rasa memiliki terhadap isi keputusan
musyawarah tersebut dan dapat mempertanggungjawabkannya secara bersama-sama).[36]
baca juga :
[9] Mahmud al-Alusi, Rȗh
al-Ma'ȃni fȋ Tafsȋr al-Qur’ȃn al-Adhȋm wa al-Sab' al-Matsȃni (Bairut:
Dȃr al-Ihya' al-Turȃts al-Arabi, t.t.),
jilid 25, h. 46.
[10] Ayat ini
membicarakan bagaimana seharusnya hubungan suami istri saat mengambil keputusan
berkaitan denga rumah tangga dan anak-anak, seperti menyapih anak. Pada ayat
diatas Al-Qur`ân memberi petunjuk agar persoalan itu (dan juga
persoalan-persoalan rumah tangga lainnya) dimusyararahkan antara suami dan
istri. Lihat M Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur`ân, h. 470.
[11] Ayat ini dari segi redaksional di tunjukkan kepada Nabi Muhammad Saw. Agar
memusyawarahkan persoalan-persoalan tertentu dengan sahabat-sahabat atau
anggota masyarakatnya. Tetapi seperti yang akan dijelaskan lebih jauh, ayat ini
merupakan petunjuk kepada setiap muslim, khususnya kepada setiap pemimpin agar
bermusyawarah dengan anggota-anggotanya. Lihat M Quraish Shihab, Wawasan
Al-Qur`ân, h. 470.
[12] Ayat ini turun
sebagai pujian kepada kelompok muslim madinah (Anshar) yang bersedia membela
nabi Saw damn menyepakati hal tersebut melalui musyawarah. Namun dugaan
tersebut akan sirna. Jika menyadari cara al-Qur`ân memberi petunjuk serta
menggali lebih jauh kandungan ayat-ayat tersebut. Lihat M Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur`ân,
h. 471.
[13]
Islam datang kepada manusia dengan membawa pikiran yang baru tentang kehidupan
secara global, yaitu pikiran yang tidak mengembangkan pemikiran sebelumnya.
tetapi ia pikiran yang baru dan sempurna bagi manusia. Ia mengikuti keketapan
dari manusia saja, tetapi ia datang dari wahyu Allah untuk menjadikan umat yang
baru. sebagaimana firman Allah “Kuntum
khoiru ummatin ukrijat linnȃs”, dan pemikiran ini adalah pemikiran yang
mempunyai pengaruh yang luas kepada aspek kehidupan manusia. Lihat Sayyid
Quṯb, Khosȏis at-Tashawwur al-Islȃmi
wa Muqowwimȃtuhu, h. 30-31.
[14] Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Jilid. V, h. 3165. Syurȃ adalah nilai-nilai dasar Islam yang harus digunakan
dalam kehidupan
seseorang, keluarga, masyarakat dalam menyelesaikan persoalan secara
bersama-sama. Bahwasannya Islam telah menolak jenis negara yang otoritas,
despotis, fasis bahkan totaliter. Karena sistem ini bisa membunuh hak politik
rakyat yang didasarkan pada prinsip syura atau musyawarah, sehingga pemerintahan
yang tidak melakukan musyawarah, dianggap bertentangan dengan
Islam. Seperti, sistem monarki atau kerajaan yang berlaku, di mana sistem
ini pengangkatannya melalui garis keturunan tidak melalui rakyat. Musthafa Ṯahhan, Tantangan
Politik Negara Islam (Malang: Zamzami, 2003), h. 38.
[16] Demokrasi secara etimologis terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa
Yunani, yaitu “demos” yang berarti rakyat atau penduduk suatu tempat dan
“cratein” atau “cratos” yang berarti kekuasaan/kedaulatan,
pemerintahan. Jadi “demos-cratein” atau “demos-cratos”
(demokrasi) adalah kekuasaan atau kedaulatan rakyat, kekuasaan tertinggi berada
dalam keputusan rakyat, rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh
rakyat. Miriam Budiardjo, Demokrasi di Indonesia: Demokrasi Parlementer dan
Demokrasi Pancasila (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), h. 50.
[17] M. Fathi Othman, Min Ushȗl al-Fikr al-Siyȃsi (Beirut: al-Risalah, 1984), h. 48.
[18] Bernard Lewis, et.al. Islam Liberalisme Demokrasi, ter. Mun'im A. Sirry (Jakarta:
Paramadina: 2002), h. 183.
[21] Muhammad Ṯȃhir bin
'Asyȗr, al-Tahrȋr wa al-Tanwȋr (Tunis: Dȃr Sahnun li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1997),
jilid. 4, h. 147.
[22] Ibnu Katsȋr, Tafsir Ibnu Katsȋr
(Mesir:
Dȃr Ihya’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, t.t),
jilid 2, h. 149.
[23] Abu Bakar al-Jazairi, Aisar
al-Tafasȋr li al-Kalȃm al-'Ȃli al-Kabȋr (Madinah: Maktabah al-Ulȗm wa
al-Hikam, 2003), jilid. 1, h. 402.
[24] Abu Abdillah
Muhammad bin Yazid bin Mȃjah, Sunan Ibnu Mȃjah, bab Sawad al-̒A’ẕom
(Kairo: Dȃr ihya al-Kutub al-Arabiyyah, t.t) Juz II, no. 3050, h. 1303.
[25] Jalaluddin
Rakhmat, Islam Alternatif; Ceramah-ceramah di Kampus (Bandung: Mizan:
2004), h. 20.
[27] Sayyid Quṯb, Tafsȋr
Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol. II, h.
399.
[28] Sayyid Quṯb, Tafsȋr
Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol. I, h.
302.
[29] Abu Yusuf Umar
bin Abdillah bin Muhammad bin Abdul Bar bin ‘Asim bin an-Namiri al-Qurtubi, Jȃmi
al-bayȃn al-Ilmi wa fadlihi (Saudi Arabia, Dȃr Ibnu Jauzi, 1994), Bab
Ijtihȃd ar-Ra̒i, juz. 2. No. 1611, h. 852.
[30] Syamsuddin al-Qurṯubi, al-Jȃmi' al-Ahkȃm (Riyadh: Dȃr 'Alim al-Kutub, 2003), jilid. 4, h. 250.
[31] Abdurrahman bin Nas̱ir
bin al-Sa'di, Taisȋr al-Karȋm al-Rahman fȋ Tafsȋr Kalȃm al-Mannȃn
(Bairut: Muassasah al-Risȃlah, 2000), jilid. 1, h. 154.
[32] Al-Baihaqi, al-Sunan
al-Kubrȃ fȋ ẕȃilihi al-Jauhar (India: Majlis Dairah al-Ma'ȃrif
al-Nidhȃmiyah al-Kainah, 1344 H), jilid. 10, h. 110.
[35] Ibnu Katsir, Tafsȋr
Ibnu Katsȋr (Beirut: Dȃr Thayyibah li al-Nasyr wa al-Tauzi', 1999),
jilid. 1, h. 635.
[36] Abdurrahman bin Nashir
bin al-Sa'di, Taisȋr al-Karȋm al-Rahmȃn fi Tafsȋr Kalȃm al-Mannȃn,
jilid. 1, h. 154.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar