Keadilan merupakan bagian pokok dalam kepemimpinan (Imȃmah). Dalam al-Qur`ân, kata ‘ȃdil disebutkan sebanyak 54 kali dan juga yang semakna dengannya, seperti qist dengan berbagai musytaq (derivasinya) sebanyak 24 kata. Kosakata adil[1] sudah menjadi bahasa Indonesia yang juga diartikan seimbang, sehingga keseimbangan adalah keadilan.[2]
Dalam bernegera Allah mengajak kita
berbuat adil, Allah berfirman:
“janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum,
mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih
dekat kepada takwa”. (QS
Al-Maidah/5: 8).
Begitu
juga ayat yang mengajak bersikap adil dalam bekerja (QS Sad/
38: 26). Allah berfirman:
“Maka perintahlah (perkara) di antara manusia dengan adil
dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari
jalan Allah”.
Secara bahasa keadilan berasal dari
kata “̒ȃdil” yang diambil dari bahasa arab “̒adl”. Kamus bahasa
arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti “sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang
bersifat immateriil. Persamaan yang merupakan makna kata “adil” itulah yang menjadikan perilakunya “tidak berpihak” dan pada dasarnya seseorang yang adil “berpihak pada kebenaran”.[3]
Kata adil sendiri adalah kata
serapan dari bahasa Arab “al-‘adl” yaitu perkara yang tengah-tengah.[4]
Keadilan merupakan sesuatu yang abstrak, sehingga akan sulit mewujudkan suatu
keadilan jika tidak mengetahui apa arti keadilan. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Keadilan bentukan dari kata kerja adil yaitu tidak melebihi atau
mengurangi daripada sewajarnya.[5]
Dalam al-Qur’ȃn
kata “adil” dari wajan fi’il maḏi, muḏari dan ̒amar
serta bentuk masdar tercantum sebanyak 25 kali.[6]
Term al-Qisṯ dapat diartikan sebagai memperoleh bagian dan porsi yang
adil. Kemudian term al-Qisṯ dapat diartikan sebagai mengambil porsi
orang lain atau curang. Sedangkan term al-Iqsȃṯ dapat diartikan
sebagai memberikan hak dan porsi seseorang kepada yang bersangkutan.[7]
Kata al-qisṯ[8]
lebih umum dari kata ‘adl karena itu qisht itulah yang digunakan. Lafad "al-qisṯ"
terulang sebanyak 24 kali. Sedangkan lawan dari ̒ȃdil adalah ẕȃlim
disebutkan dalam al-Qur`ân dari berbagai bentuk dan wazannya sebanyak 237.[9]
Kata ẕȃlim
lebih banyak di sebut dalam al-Qur`ân, hal ini menggambarkan bahwa berbuat
kedzaliman yang dilakukan oleh manusia lebih sering daripada berbuat keadilan. Menurut
Quṯb:
“Umat Islam telah menunaikan penegakan
keadilan ini dan telah menunaikan tugas-tugasnya, sejak mereka berdiri diatas
landasan Islam. Penegakan keadilan ini didalam kehidupan mereka bukan sekedȃr pesan dan cita-cita. Tetapi, ia adalah suatu
realita dalam kehidupan mereka sehari-hari, yang belum pernah disaksikan oleh
kemanusiaan sebelum dan sesudahnya. Tingkat kemanusiaan yang tinggi ini tidak
dikenal oleh manusia kecuali pada masa kecemerlangan Islam”.[10]
Keadilan yang dituntut oleh Islam bagi Quṯb adalah keadilan mutlak
yang tidak berpengaruh kepada kecintaan, jabatan, kekayaan, pangkat dan
intervensi para hakim. Sejarah Islam menggambarkan contoh keadilan mutlak dalam
penegakan hukum Islam sampai tergulingnya kekhalifahan dalam Islam. Dan
menurutnya, “...kebangkitan keadilan bergantung kepada hati nurani hakim dan
kebangkitan manusia menjaga keadilan serta takut kepada Allah dan siksaaanya
apabila mereka berpaling dan berdiam dari dari kerusakan dan kejahatan”...[11]
Sesungguhnya Islam berjuang di ranah keadilan sosial yang
diperjuangkan kaum sosialis dan berjuang di ranah keadilan nasional dan politik
yang diperjuangkan kaum nasionalis, dan diranah keadilan kemanusiaan yang
diperjuangkan ikhwanul muslimin.[12]
Di dalam hadis
kata adil disebutkan sebagai upaya menjalankan keadilan.
عن عبد الله بن عمر وقال رسول الله (ص) إن المقسطين عند الله
على منابر من نور عن يمين الرحمن عزّ وجلّ و كلتا يديه يمين الذين يعدلون في حكمهم
واهليهم وماولوا.
“Dari Abdullah bin Amr r.a berkata:
Rasulullah s.a.w bersabda: ‘ sesungguhnya orang-orang yang adil itu di sisi
Allah akan mendapat tempat di atas mimbar-mimbar dari cahaya terletak di
sebelah kanan Allah. Iaitu orang-orang yang adil menjalankan hukum, adil kepada
keluarganya, dan adil melaksanakan tugas yang diserahkan kepadanya. Katanya:
kedua-dua tangan Allah itu dinamakan “yamin”.[13]
Quṯb
menyeru kepada orang-orang beriman untuk menegakkan keadilan, dalam semua
keadaan. Yaitu “...keadilan yang mencegah kesewang-wenangan dan kezaliman, dan
keadilan yang menjamin kesamaan diantara manusia dan memberikan hak kepada
masing-masing sesuai dengan hak nya, baik muslim ataupun non muslim. Karena
dalam hak ini, samalah di sisi Allah antara orang-orang mukmin dan orang yang
tidak beriman, antara kerabat dan orang jauh (bukan kerabat), antara kawan dan
lawan, serta antara orang kaya dan orang miskin”...[14]
Pada QS an-Nisâ̑/4:135
Quṯb menafsirkan:
“Diantara perjanjian Allah dengan umat Islam
ialah untuk menegakkan keadilan pada manusia. Yakni, keadilan mutlak yang
neracanya tidak pernah miring karena pengaruh cinta dan benci, kedekatan
hubungan, kepentingan, atau hawa nafsu, dalam kondisi apa pun. Keadilan yang
bersumber dari pelaksanaan ketaatan kepada Allah, yang bebas dari segala
pengaruh, dan bersumber dari perasaan dan kesadaran terhadap pengawasan”.[15]
Menurut
Sayyid Quṯb ayat di atas merupakan amanat untuk menegakkan keadilan yang
sebenarnya pada semua tempat dan keadaan dan semua manusia baik mukmin ataupun
kafir, teman atau musuh, kaya ataupun miskin menurut pandangan Allah memiliki
hak yang sama untuk mendapatkan keadilan. Dan menurutnya, “...menegakkan
keadilan itu tidak karena kebaikan seseorang, golongan atau kelompok dan
berusaha untuk melepaskan dari semua kecenderungan, hawa nafsu, kemashlahatan
dan penghormatan tetapi semata-mata karena Allah”...[16]
Penegakan
keadilan itu bisa diwujudkan dengan landasan ketakwaan kepada Allah. Ketakwaan
kepada Allah menjadi akidah untuk menjamin keadilan mutlak terhadap musuh yang
dibencinya, sebagaimana jaminan yang diberikan oleh agama Islam. Yakni, ketika
Islam menyeru orang-orang yang beriman agar menegakkan urusan ini karena Allah,
dan agar bergaul dengan- Nya, lepas dari semua ajaran lain.[17]
Pada QS al-A’râf̑/7:181
Quṯb menafsirkan:
“Keadilan itu tidak dapat tegak
kecuali dengan diputuskannya setiap masalah dengan kebenaran ini. Maka,
kebenaran (Islam) ini tidak semata-mata ilmu pengetahuan untuk dimengerti dan
dipelajari, bukan semata-mata ajaran untuk ditunjukkan dan dikenalkan. Tetapi,
kebenaran ini datang untuk menghukumi semua urusan manusia, menghukumi persepsi
akidah mereka, lantas membetulkan dan meluruskan sesuai dengan kebenaran itu”.[18]
Pada QS
An-Nisâ̑/ 4:58 Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak
menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia
supaya kamu menetapkan dengan adil".
Allah
menyuruh kita menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan
menetapkan hukum di antara manusia supaya kita menetapkan dengan adil. Inilah
tugas kaum muslimin sekaligus akhlak mereka, yaitu menunaikan amanat-amanat
kepada yang berhak menerimanya, dan memutuskan hukum dengan adil di antara
“manusia” sesuai dengan ajaran Allah.[19]
Bagi
Quṯb keseimbangan dalam sosial sangat penting, karena untuk menjaga
berlangsungnya keadilan sosial, dan selanjutnya untuk menjamin ketentraman
masyarakat. Salah satu contohnya adalah perputaran kekayaan tidak boleh dengan
meninggalkan golongan miskin.[20]
Tujuan
penegakkan keadilan menurut Sayyid Quṯb adalah “...untuk memberi rasa aman dari
kekacauan hawa nafsu dan berbenturannya kemashlahatan dan kemadharatan. Dan
yang paling penting adalah bertujuan untuk menuju ketaqwaan dan keridhaan Allah
SWT. Sedangkan yang berhak untuk
mendapatkan keadilan menurut penafsiran Sayyid Quṯb adalah semua manusia
berdasarkan manhaj rabbȃni baik yang mukmin maupun non mukmin, teman
atau lawan kaya atau miskin, arab atau `ajam. Dan yang perlu
diperhatikan lanjut Sayyid adalah menegakkan keadilan itu berdasarkan syari`at
Allah, karena jika menegakkan keadilan itu tidak berdasarkan syari`at Allah,
maka hal itu tidak berlangsung lama dalam kehidupan manusia dan hal itu
merupakan kekacauan yang dihembuskan oleh orang-orang jȃhiliyah dan
berdasarkan hawa nafsu”...[21]
baca juga :
[1] Kata al-‘adl disejajarkan dengan kata al-ih̠sân yang melembutkan ketajaman keadilan yang kuat. Sehingga, membiarkan pintu-pintu terbuka
lebar menuju keadilan bagi siapa saja yang ingin
bertoleransi dalam sebagian haknya demi mengutamakan kasih sayang hati nurani dan
sebagai penyembuh kedengkian jiwa. Pintunya juga terbuka untuk
orang yang ingin bangkit di atas keadilan yang wajib dilakukan baginya sebagai
obat penawar bagi luka atau sebagai penyandang sebuah keistimewaan. Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol.VII,
h. 207.
[4] Abdul Aziz
Dahlan, et. all, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997), h. 25.
[5] Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia,
2008), h. 10.
[7]
Al-Raghib al-Ashfahȃni, Mufradat Alfȃdz al-Qur`ȃn (Damaskus: Dȃr al-Qalam,
1992), h. 670.
[8] Sementara akar kata al-Qisṯ
terdiri dari tiga huruf yaitu qaf, sin dan ṯ. Makna yang
terkandung dalam struktur ketiga huruf di atas ada tiga macam yaitu keadilan
atau al-Qisṯ, kecenderungan atau al-Qasṯ dan bengkok atau al-Qasaṯ.
Dari pengertian di atas dapat dimunculkan lagi dua makna yang lain yaitu bagian
al-Nas̱ib dan neraca atau al-Qisṯas. Lihat Abi al-Husain
Ahmad Ibn Fȃris Ibn Zakariyya, Mu`jam Maqayȋs al-Lughah, Juz V, (t.tp
: Dȃr al-Fikr, 1979), h. 86.
[9] Lihat
Faidullah al- Hasani, Al-Mu’jam
al-Mufahras Likalimȃt al-Qur’ȃn, h. 203-206. Kata ̒ȃdil
sering disinonimkan dengan kata al musȃwah/persamaan ( QS. al
Infithȃr: 6-7) dan al
qisṯ/ moderat/seimbang (QS. al-Maidah: 8), mȋzȃn/
ukuran/ standarisasi (QS. al-an’ȃm: 152). Lawan kata
dari ̒ȃdil adalah kata ẕȃlim. Mengomentari surat al-An’am: 152, yaitu
dengan menggunakan perintah-bukan larangan menyangkut takaran dan timbangan. Quraish Shihab,
Tafsȋr Al-Misb̑ah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Vol. 4, h. 336.
[10] Sayyid Quṯb berpendirian teguh bahwa satu-satunya cara untuk menegakkan
keadilan sosial adalah dengan menerapkan sistem pemerintahan Islam yang
dibangun dengan tiga asas; keadilan penguasa, ketaatan rakyat, dan
permusyawaratan antara penguasa dan rakyat. Sayyid Quṯb, al-‘Adâlah al-Ijtimâ’yah fî al-Islâm, terj. Afif Muhammad
(Bandung: Pustaka, 1994), h, 129.
[11] Lihat Sayyid Quṯb, As-salȃm al-Ȃ'lami wal Islȃm (Kairo: Dȃr as-Syurȗq, 2006), h. 116-117.
[12] Sayyid Quṯb, Dirȃsat Islȃmmiyah (Kairo: Dȃr
as-Syurȗq, 2006), h. 97.
[13] al-Imȃm Abu
al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Nisȃbȗri, Shohȋh Muslim, Bab
Fadȋlatul Imȃm (Bairut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, t.t), Juz 3, no. 1827,
h. 1453.
[14] Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol. III, h. 99.
[15] Sayyid Quṯb, Tafsȋr
Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol. III, h
182.
[17] Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl
al-Qur’ȃn, Vol. III, h. 182-183.
[18] Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Jilid. III, h. 1403.
[19] Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl
al-Qur’ȃn, Vol. II, h. 396. Quṯb menjelaskan,
adapun dalam perintah agar memutuskan hukum dengan adil di antara manusia,
bersifat mutlak yang meliputi keadilan yang menyeluruh “diantara semua
manusia”, bukan keadilan di antara sesama kaum muslimin dan terhadap ahli kitab
saja. Keadilan merupakan hak setiap manusia hanya karena dia diidentifikasi
sebagai manusia. Maka, identitas sebagai manusia inilah yang menjadikannya
berhak terhadap keadilan itu menurut aturan Tuhan. Identitas ini terkena untuk
semua manusia, mukmin ataupun kafir, teman ataupun lawan, orang berkulit putih
ataupun berkulit hitam, orang Arab ataupun orang Ajam (non Arab). Sayyid Quṯb, Tafsȋr
Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Vol. V, h,
397.
[20] Sayyid Quṯb, Islam and Universal Peace, terj. Abdul Halim Hamid, (Jakarta:
Cahaya Press, t.t.,), h. 157.
[21] Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl
al-Qur’ȃn, Vol. VI. h, 349.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar