Selasa, 21 April 2020

Keadilan dalam Al-Qur'an




Keadilan merupakan bagian pokok dalam kepemimpinan (Imȃmah). Dalam al-Qur`ân, kata ‘ȃdil disebutkan sebanyak 54 kali dan juga yang semakna dengannya, seperti qist dengan berbagai musytaq (derivasinya) sebanyak 24 kata. Kosakata adil[1] sudah menjadi bahasa Indonesia yang juga diartikan seimbang, sehingga keseimbangan adalah keadilan.[2]
Dalam bernegera Allah mengajak kita berbuat adil, Allah berfirman:
“janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. berlaku adillah, Karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS Al-Maidah/5: 8).  

Begitu juga ayat yang mengajak bersikap adil dalam bekerja (QS Sad/ 38: 26). Allah berfirman:
Maka perintahlah (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah.

Secara bahasa keadilan berasal dari kata “̒ȃdil” yang diambil dari bahasa arab “̒adl”. Kamus bahasa arab menginformasikan bahwa kata ini pada mulanya berarti “sama”. Persamaan tersebut sering dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat immateriil. Persamaan yang merupakan makna kata “adil” itulah yang menjadikan perilakunya “tidak berpihak” dan pada dasarnya seseorang yang adil “berpihak pada kebenaran”.[3]
Kata adil sendiri adalah kata serapan dari bahasa Arab “al-‘adl” yaitu perkara yang tengah-tengah.[4] Keadilan merupakan sesuatu yang abstrak, sehingga akan sulit mewujudkan suatu keadilan jika tidak mengetahui apa arti keadilan. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Keadilan bentukan dari kata kerja adil yaitu tidak melebihi atau mengurangi daripada sewajarnya.[5]
Dalam al-Qur’ȃn kata “adil” dari wajan fi’il maḏi, muḏari dan ̒amar serta bentuk masdar tercantum sebanyak 25 kali.[6] Term al-Qisṯ dapat diartikan sebagai memperoleh bagian dan porsi yang adil. Kemudian term al-Qisṯ dapat diartikan sebagai mengambil porsi orang lain atau curang. Sedangkan term al-Iqsȃṯ dapat diartikan sebagai memberikan hak dan porsi seseorang kepada yang bersangkutan.[7]
Kata al-qisṯ[8] lebih umum dari kata ‘adl karena itu qisht itulah yang digunakan. Lafad "al-qisṯ" terulang sebanyak 24 kali. Sedangkan lawan dari ̒ȃdil adalah ẕȃlim disebutkan dalam al-Qur`ân dari berbagai bentuk dan wazannya sebanyak 237.[9]
Kata ẕȃlim lebih banyak di sebut dalam al-Qur`ân, hal ini menggambarkan bahwa berbuat kedzaliman yang dilakukan oleh manusia lebih sering daripada berbuat keadilan. Menurut Quṯb:
 “Umat Islam telah menunaikan penegakan keadilan ini dan telah menunaikan tugas-tugasnya, sejak mereka berdiri diatas landasan Islam. Penegakan keadilan ini didalam kehidupan mereka bukan sekedȃr  pesan dan cita-cita. Tetapi, ia adalah suatu realita dalam kehidupan mereka sehari-hari, yang belum pernah disaksikan oleh kemanusiaan sebelum dan sesudahnya. Tingkat kemanusiaan yang tinggi ini tidak dikenal oleh manusia kecuali pada masa kecemerlangan Islam”.[10]

Keadilan yang dituntut oleh Islam bagi Quṯb adalah keadilan mutlak yang tidak berpengaruh kepada kecintaan, jabatan, kekayaan, pangkat dan intervensi para hakim. Sejarah Islam menggambarkan contoh keadilan mutlak dalam penegakan hukum Islam sampai tergulingnya kekhalifahan dalam Islam. Dan menurutnya, “...kebangkitan keadilan bergantung kepada hati nurani hakim dan kebangkitan manusia menjaga keadilan serta takut kepada Allah dan siksaaanya apabila mereka berpaling dan berdiam dari dari kerusakan dan kejahatan”...[11]
Sesungguhnya Islam berjuang di ranah keadilan sosial yang diperjuangkan kaum sosialis dan berjuang di ranah keadilan nasional dan politik yang diperjuangkan kaum nasionalis, dan diranah keadilan kemanusiaan yang diperjuangkan ikhwanul muslimin.[12]
Di dalam hadis kata adil disebutkan sebagai upaya menjalankan keadilan.
عن عبد الله بن عمر وقال رسول الله (ص) إن المقسطين عند الله على منابر من نور عن يمين الرحمن عزّ وجلّ و كلتا يديه يمين الذين يعدلون في حكمهم واهليهم وماولوا.
“Dari Abdullah bin Amr r.a berkata: Rasulullah s.a.w bersabda: ‘ sesungguhnya orang-orang yang adil itu di sisi Allah akan mendapat tempat di atas mimbar-mimbar dari cahaya terletak di sebelah kanan Allah. Iaitu orang-orang yang adil menjalankan hukum, adil kepada keluarganya, dan adil melaksanakan tugas yang diserahkan kepadanya. Katanya: kedua-dua tangan Allah itu dinamakan “yamin”.[13]

Quṯb menyeru kepada orang-orang beriman untuk menegakkan keadilan, dalam semua keadaan. Yaitu “...keadilan yang mencegah kesewang-wenangan dan kezaliman, dan keadilan yang menjamin kesamaan diantara manusia dan memberikan hak kepada masing-masing sesuai dengan hak nya, baik muslim ataupun non muslim. Karena dalam hak ini, samalah di sisi Allah antara orang-orang mukmin dan orang yang tidak beriman, antara kerabat dan orang jauh (bukan kerabat), antara kawan dan lawan, serta antara orang kaya dan orang miskin”...[14]
Pada QS an-Nisâ̑/4:135 Quṯb menafsirkan:
 “Diantara perjanjian Allah dengan umat Islam ialah untuk menegakkan keadilan pada manusia. Yakni, keadilan mutlak yang neracanya tidak pernah miring karena pengaruh cinta dan benci, kedekatan hubungan, kepentingan, atau hawa nafsu, dalam kondisi apa pun. Keadilan yang bersumber dari pelaksanaan ketaatan kepada Allah, yang bebas dari segala pengaruh, dan bersumber dari perasaan dan kesadaran terhadap pengawasan”.[15]

Menurut Sayyid Quṯb ayat di atas merupakan amanat untuk menegakkan keadilan yang sebenarnya pada semua tempat dan keadaan dan semua manusia baik mukmin ataupun kafir, teman atau musuh, kaya ataupun miskin menurut pandangan Allah memiliki hak yang sama untuk mendapatkan keadilan. Dan menurutnya, “...menegakkan keadilan itu tidak karena kebaikan seseorang, golongan atau kelompok dan berusaha untuk melepaskan dari semua kecenderungan, hawa nafsu, kemashlahatan dan penghormatan tetapi semata-mata karena Allah”...[16]
Penegakan keadilan itu bisa diwujudkan dengan landasan ketakwaan kepada Allah. Ketakwaan kepada Allah menjadi akidah untuk menjamin keadilan mutlak terhadap musuh yang dibencinya, sebagaimana jaminan yang diberikan oleh agama Islam. Yakni, ketika Islam menyeru orang-orang yang beriman agar menegakkan urusan ini karena Allah, dan agar bergaul dengan- Nya, lepas dari semua ajaran lain.[17]
Pada QS al-A’râf̑/7:181 Quṯb menafsirkan:
“Keadilan itu tidak dapat tegak kecuali dengan diputuskannya setiap masalah dengan kebenaran ini. Maka, kebenaran (Islam) ini tidak semata-mata ilmu pengetahuan untuk dimengerti dan dipelajari, bukan semata-mata ajaran untuk ditunjukkan dan dikenalkan. Tetapi, kebenaran ini datang untuk menghukumi semua urusan manusia, menghukumi persepsi akidah mereka, lantas membetulkan dan meluruskan sesuai dengan kebenaran itu”.[18]

Pada QS An-Nisâ̑/ 4:58 Allah berfirman:
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil".

Allah menyuruh kita menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menetapkan hukum di antara manusia supaya kita menetapkan dengan adil. Inilah tugas kaum muslimin sekaligus akhlak mereka, yaitu menunaikan amanat-amanat kepada yang berhak menerimanya, dan memutuskan hukum dengan adil di antara “manusia” sesuai dengan ajaran Allah.[19]
Bagi Quṯb keseimbangan dalam sosial sangat penting, karena untuk menjaga berlangsungnya keadilan sosial, dan selanjutnya untuk menjamin ketentraman masyarakat. Salah satu contohnya adalah perputaran kekayaan tidak boleh dengan meninggalkan golongan miskin.[20]
Tujuan penegakkan keadilan menurut Sayyid Quṯb adalah “...untuk memberi rasa aman dari kekacauan hawa nafsu dan berbenturannya kemashlahatan dan kemadharatan. Dan yang paling penting adalah bertujuan untuk menuju ketaqwaan dan keridhaan Allah SWT. Sedangkan yang berhak untuk mendapatkan keadilan menurut penafsiran Sayyid Quṯb adalah semua manusia berdasarkan manhaj rabbȃni baik yang mukmin maupun non mukmin, teman atau lawan kaya atau miskin, arab atau `ajam. Dan yang perlu diperhatikan lanjut Sayyid adalah menegakkan keadilan itu berdasarkan syari`at Allah, karena jika menegakkan keadilan itu tidak berdasarkan syari`at Allah, maka hal itu tidak berlangsung lama dalam kehidupan manusia dan hal itu merupakan kekacauan yang dihembuskan oleh orang-orang jȃhiliyah dan berdasarkan hawa nafsu”...[21]

baca juga : 






[1] Kata al-‘adl disejajarkan dengan kata al-ih̠sân yang melembutkan ketajaman keadilan yang kuat. Sehingga, membiarkan pintu-pintu terbuka lebar menuju keadilan bagi siapa saja yang ingin bertoleransi dalam sebagian haknya demi mengutamakan kasih sayang hati nurani dan sebagai penyembuh kedengkian jiwa. Pintunya juga terbuka untuk orang yang ingin bangkit di atas keadilan yang wajib dilakukan baginya sebagai obat penawar bagi luka atau sebagai penyandang sebuah keistimewaan. Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Vol.VII,  h. 207.
[2] Departemen Agama RI, Tafsȋr al-Qur’ȃn Tematik; Al-Qur’ȃn dan Kernegaraan, h.114. 
[3] Quraish Shihab, Wawasan al Qur’an (Bandung: Mizan 2007), h. 111-112.
[4] Abdul Aziz Dahlan, et. all, Ensiklopedia Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 25.
[5] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Gramedia, 2008), h. 10.
[6]  Lihat Faidullah al- Hasani, Al-Mu’jam al-Mufahras Likalimȃt al-Qur’ȃn, h. 212-213.
[7] Al-Raghib al-Ashfahȃni, Mufradat Alfȃdz al-Qur`ȃn (Damaskus: Dȃr al-Qalam, 1992), h. 670.
[8] Sementara akar kata al-Qisṯ terdiri dari tiga huruf yaitu qaf, sin dan . Makna yang terkandung dalam struktur ketiga huruf di atas ada tiga macam yaitu keadilan atau al-Qisṯ, kecenderungan atau al-Qasṯ dan bengkok atau al-Qasaṯ. Dari pengertian di atas dapat dimunculkan lagi dua makna yang lain yaitu bagian al-Nas̱ib dan neraca atau al-Qisṯas. Lihat Abi al-Husain Ahmad Ibn Fȃris Ibn Zakariyya, Mu`jam Maqayȋs al-Lughah, Juz V, (t.tp : Dȃr  al-Fikr, 1979), h. 86.
[9] Lihat Faidullah al- Hasani, Al-Mu’jam al-Mufahras Likalimȃt al-Qur’ȃn, h. 203-206. Kata ̒ȃdil sering disinonimkan dengan kata al musȃwah/persamaan ( QS. al Infithȃr: 6-7) dan al qisṯ/ moderat/seimbang (QS. al-Maidah: 8), mȋzȃn/ ukuran/ standarisasi (QS. al-an’ȃm: 152). Lawan kata dari ̒ȃdil adalah kata ẕȃlim. Mengomentari surat al-An’am: 152, yaitu dengan menggunakan perintah-bukan larangan menyangkut takaran dan timbangan. Quraish Shihab, Tafsȋr Al-Misb̑ah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), Vol. 4, h. 336.
[10]  Sayyid Quṯb berpendirian teguh bahwa satu-satunya cara untuk menegakkan keadilan sosial adalah dengan menerapkan sistem pemerintahan Islam yang dibangun dengan tiga asas; keadilan penguasa, ketaatan rakyat, dan permusyawaratan antara penguasa dan rakyat. Sayyid Quṯb, al-‘Adâlah al-Ijtimâ’yah fî al-Islâm, terj. Afif Muhammad (Bandung: Pustaka, 1994), h, 129.
[11]  Lihat Sayyid Quṯb, As-salȃm al-Ȃ'lami wal Islȃm (Kairo: Dȃr  as-Syurȗq, 2006), h. 116-117.
[12]  Sayyid Quṯb, Dirȃsat Islȃmmiyah (Kairo: Dȃr  as-Syurȗq, 2006), h. 97.
[13] al-Imȃm Abu al-Husain Muslim bin al-Hajjaj al-Qusyairi an-Nisȃbȗri, Shohȋh Muslim, Bab Fadȋlatul Imȃm (Bairut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, t.t), Juz 3, no. 1827, h. 1453.
[14] Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Vol. III, h. 99.
[15] Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Vol. III, h 182.
[16]  Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn, Jilid II, h. 690.
[17]  Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Vol.  III, h. 182-183.
[18]  Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Jilid. III, h. 1403.
[19]  Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Vol. II, h. 396. Quṯb menjelaskan, adapun dalam perintah agar memutuskan hukum dengan adil di antara manusia, bersifat mutlak yang meliputi keadilan yang menyeluruh “diantara semua manusia”, bukan keadilan di antara sesama kaum muslimin dan terhadap ahli kitab saja. Keadilan merupakan hak setiap manusia hanya karena dia diidentifikasi sebagai manusia. Maka, identitas sebagai manusia inilah yang menjadikannya berhak terhadap keadilan itu menurut aturan Tuhan. Identitas ini terkena untuk semua manusia, mukmin ataupun kafir, teman ataupun lawan, orang berkulit putih ataupun berkulit hitam, orang Arab ataupun orang Ajam (non Arab). Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Vol. V, h, 397.
[20]  Sayyid Quṯb, Islam and Universal Peace, terj. Abdul Halim Hamid, (Jakarta: Cahaya Press, t.t.,), h. 157.
[21]  Sayyid Quṯb, Tafsȋr Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Vol. VI. h, 349.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

implementasi Amanah dalam kehidpan berbangsa dan bernegara

Dalam a l-Qur`ân secara ekplisit menyebut amȃnah sebanyak enam ayat dengan kategori mufrad (tunggal), dan jamak nya, yaitu pada Q...