Menurut pendapat mayoritas ulama surah
al-Fâtiẖah adalah surah
makkiyyah Surah al-Fâtiẖah terdiri dari 7 ayat. Dinamakan surah al-Fâtiẖah,
yang berarti 'permulaan'. Surah al-Fâtiẖah adalah 'Mahkota Tuntunan
Ilahi'[1]. Dia adalah 'Ummul Qur'an' atau 'Induk al-Quran'. Banyak nama yang
disandangkan kepada awal surah al-Quran itu. Tidak kurang dari dua puluh sekian
nama. Dari nama-nama itu dapat diketahui betapa besar dampak yang dapat
diperoleh bagi pembacanya. Tidak heran jika doa dianjurkan agar ditutup dengan al-ẖamdû
lillâhi rabbîl ‘alamîn atau bahkan ditutup dengan surah ini.
Dari sekian banyak nama yang
disandangnya, hanya tiga atau empat nama yang diperkenalkan oleh Rasul Saw.
Pada masa beliau dikenal al-Fâtiẖah, Ummul Kitab (Induk Kitab) atau
Ummul Qur'an (Induk al-Qur’ân) dan as-Sab’ al Matsanî (Tujuh ayatnya
diulang-ulang). Banyak ẖadits Nabi Saw yang menyebut nama al-Fâtiẖah, antara
lain: "Tidak ada (tidak sah) shalat bagi yang tidak membaca Fatihah al-
Kitab," (HR Bukhri, Muslim, dan perawî lainnya.)
Kata fatẖ yang merupakan akar kata nama ini berarti
menyingkirkan sesuatu yang terdapat pada suatu tempat yang akan dimasuki. Tentu
saja bukan makna harfiah itu yang dimaksud. Penamaannya dengan al-Fâtiẖah
karena ia terletak pada awal al-Qur’ân dan karena biasanya yang pertama
memasuki sesuatu adalah yang membukanya. Kata Fâtiẖah di sini berarti awal al-Qur’ân.
Surah ini awal dari segi penempatannya pada susunan al-Qur’ân, bukan seperti
dugaan segelintir kecil orang bahwa ia dinamai demikian karena surah ini adalah
awal surah al-Quran yang turun. Kita juga dapat berkata bahwa al-Fâtiẖah
adalah Pembuka yang sangat agung bagi segala macam kebajikan.
Dalam pembahasan tafsir surah al-Fâtiẖah, penulis hanya mengambil
sedikit intisari yang digambarkan oleh Tafsîr al-Mis̱bâẖ. Jika menukil secara utuh maka akan dapat ditemukan kedalaman pemahaman
pengarang dalam penafsirannya, khususnya surah al-Fâtiẖah.
Dalam Tafsîr al-Mis̱bâẖ, Qurais shihab mengelompokkan tema surah al-Fâtiẖah dalam dua
kategori, yaitu:
1. Pembicaraan tentang Allâh
dan sifat-sifatnya
Pembicaraan tentang Allâh dan sifat-sifat-Nya terwakili pada ayat 1
sampai dengan 4, sedang berkaitan dengan permohonan termaktub dalam ayat 5
sampai dengan 7.
Pembicaraan tentang Allâh dan sifat-sifatnya bisa juga kita tarik
kesimpulan bahwa ayat-ayat ini berbicara tentang keimanan atau ketauhidan.
Karena itu tidak salah jika Yunahar Ilyas dalam bukunya Kuliah Aqidah Islam
memasukkan ayat-ayat al-Fâtiẖah sebagai dalil tentang tauhid.[3]
Sejalan dengan tafsir yang dikarang oleh Quraish Shihab, sebuah tulisan
yang dibuat oleh Abû Mushlih Ari Wahyudi dalam www. Islam.or.id.
menyebutkan bahwa dalam kandungan surah al-Fâtiẖah Allâh mengajarkan kepada
manusia tugas hidup dunia, mengajarkan kepada mereka untuk bergantung dan
berharap kepada-Nya, cinta dan takut kepada-Nya, serta menunjukkan kepada
mereka jalan yang akan mengantarkannya menuju kebahagiaan.[4]Sementara kebahagian sejati menurut imam Ghazâlî adalah cinta kepada Allâh.[5] Cinta kepada Allâh merupakan puncak tertinggi dari tujuan akhir.
Karena itu, tidak salah jika segala aktifitas baik harus disandarkan atas nama Allâh.
Kembali ke permasalahan Tafsîr al-Mis̱bâẖ, bahwa berkenaan
dengan penafsiran surah al-Fâtiẖah penulis dapat menarik kesimpulan sebagai
berikut:
1. Ayat pertama dalam al-Fâtiẖah,
yakni Bismillâh memberi pelajaran agar kita memulai setiap pekerjaan
dengan mengucapkan Bismillâh sehingga terjalin hubungan yang erat
antara si pengucap/ pembaca dengan Allâh Swt., dan dengan penyebutan kedua
sifat-Nya ar-Rahmân ar-Raẖîm tertancap dalam hati si pembaca betapa
besar rahmat Allâh sehingga semestinya pembacanya tidak akan berputus asa
betapapun berat dan sulit keadaan yang dihadapinya.
2. Ayat kedua surah al-Fâtiẖah,
alẖamdulillâh yang artinya segala puji bagi Allâh adalah pengajaran
agar seseorang selalu menyadari betapa besar rahmat dan anugerah Allâh
kepada-Nya. Sehingga bila sesekali ia mengalami sesuatu yang tidak
menyenangkannya, maka ia akan teringat rahmat dan nikmat Allâh yang selama ini
dinikmatinya.
3. Redaksi persona ketiga
pada kalimat al-Hamdulillah dalam arti si pemuji tidak berhadapan langsung
dengan Allâh, memberi pelajaran bahwa memuji tanpa kehadiran yang dipuji lebih
baik daripada memuji di hadapannya. Sedang ayat kelima, Iyyâka na‘budû dan
Iyyâka nasta‘în, yang artinya hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya
kepada-Mu kami memohon pertolongan, dikemukakan dalam bentuk persona kedua,
dalam arti Allâh hadir dan si pemohon berhadapan langsung dengan Allâh. Ini
karena dalam beribadah seseorang hendaknya bagaikan berhadapan langsung
dengan-Nya. Inilah yang dimaksud oleh Nabi Saw ketika menjawab pertanyaan
malaikat Jibril tentang makna al-Ihsan, yakni "Engkau menyembah Allâh
seakan-akan melihat-Nya, dan bila tidak mampu melihat-Nya (dengan mata hatimu),
maka ketahuilah bahwa Dia melihat-Mu", (HR Bukhârî melalui Umar Ibn al-Khaṯab).
4. Pernyataan bahwa Allâh
adalah Rabb al-‘alamin atau Tuhan Pemelihara seluruh alam memberi pelajaran
bahwa Allâh mengurus, memelihara, dan menguasai seluruh jagad raya.
5. Sementara kalimat Allâh
Pemilik Hari Kemudian mengajarkan antara lain bahwa kuasa-Nya ketika itu sangat
menonjol sehingga tidak satu pun yang mengingkari-Nya, tidak juga seseorang
dapat membangkang, sebagaimana ia mengajarkan juga bahwa tidak seorang pun yang
dapat mengetahui kehidupan di sana kecuali bila diberi tahu melalui wahyu oleh Allâh
atau penyampaian nabi dan bahwa waktu kedatangan hari itu adalah suatu rahasia
yang tidak diketahui kecuali oleh Allâh semata.
6. Kata 'kami' pada ayat
ke-5: "Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami meminta
pertolongan," mengandung beberapa pesan tentang kebersamaan antarumat yang
menjadikan setiap Muslim harus memiliki kesadaran sosial, yang menjadikan
ke-akuan-nya lebur secara konseptual bersama aku-aku lainnya. Setiap Muslim,
dengan demikian, menjadi seperti satu jasad yang merasakan keperihan bila satu
organ menderita penyakit.
7. Ayat ke-7 surah ini
mengajarkan agar menisbahkan segala yang baik kepada Allâh swt, sedang yang
buruk harus dicari terlebih dahulu penyebabnya. Ini dipahami dari penisbahan
pemberian nikmat kepada-Nya; "Jalan orang-orang yang Engkau beri
nikmat," sedang menyangkut murka tidak dinyatakan: "Yang Engkau murkai," tetapi "Yang dimurkai.
Dalam tafsir surah al-Fâtiẖah ini M.Quraish Shihab juga
mencantumkan banyak ẖadits, baik ẖadits yang ada dalam kitab s̱aẖih
Bukhârî dan Muslim maupun yang lainnya, dan dalam hal ini ẖadits-ẖadits
yang tercantum dalam Tafsîr al-Mis̱bâẖ khususnya surah al-Fâtiẖah
dan bukan dikeluarkan oleh Bukhârî dan Muslim, akan penulis coba kaji ke
otentisannya, diantara ẖadits tersebut adalah:
1. Puji-pujian yang paling
terpuji adalah yâ rabbi laka al-ẖamdu kamâ yanbaghî
lijalâli wajhika
2. H̱adits tentang s̱ilaturraẖmi̱
3. Apabila seorang berdosa
diteteskan kedalam hatinya satu titik hitam.
Berdasarkan
penemuan ẖadits-ẖadits diatas dalam penjelasan surah al-Fâtiẖah dalam Tafsîr al-Mis̱bâẖ, maka akan dikaji secara lebih dalam
mengenai kualitas sanad dan matan ẖadits ẖadits-ẖadits tersebut pada bab
selanjutnya.
baca juga :
[5] Imam
Ghazali. Ajaran
Bahagia (terj. Kimyaa’u As-sa’adah). Yogyakarta: Cakrawala. 2011. Hal. 137.