Jumat, 24 April 2020

Kandungan Surah al-Fâtiẖah dalam Tafsîr al-Mis̱bâẖ


Menurut pendapat mayoritas ulama surah al-Fâtiẖah adalah surah makkiyyah Surah al-Fâtiẖah terdiri dari 7 ayat. Dinamakan surah al-Fâtiẖah, yang berarti 'permulaan'. Surah al-Fâtiẖah adalah 'Mahkota Tuntunan Ilahi'[1]. Dia adalah 'Ummul Qur'an' atau 'Induk al-Quran'. Banyak nama yang disandangkan kepada awal surah al-Quran itu. Tidak kurang dari dua puluh sekian nama. Dari nama-nama itu dapat diketahui betapa besar dampak yang dapat diperoleh bagi pembacanya. Tidak heran jika doa dianjurkan agar ditutup dengan al-ẖamdû lillâhi rabbîl ‘alamîn atau bahkan ditutup dengan surah ini.
           Dari sekian banyak nama yang disandangnya, hanya tiga atau empat nama yang diperkenalkan oleh Rasul Saw. Pada masa beliau dikenal al-Fâtiẖah, Ummul Kitab (Induk Kitab) atau Ummul Qur'an (Induk al-Qur’ân) dan as-Sab’ al Matsanî (Tujuh ayatnya diulang-ulang). Banyak ẖadits Nabi Saw yang menyebut nama al-Fâtiẖah, antara lain: "Tidak ada (tidak sah) shalat bagi yang tidak membaca Fatihah al- Kitab," (HR Bukhri, Muslim, dan perawî lainnya.)
Kata fatẖ yang merupakan akar kata nama ini berarti menyingkirkan sesuatu yang terdapat pada suatu tempat yang akan dimasuki. Tentu saja bukan makna harfiah itu yang dimaksud. Penamaannya dengan al-Fâtiẖah karena ia terletak pada awal al-Qur’ân dan karena biasanya yang pertama memasuki sesuatu adalah yang membukanya. Kata Fâtiẖah di sini berarti awal al-Qur’ân. Surah ini awal dari segi penempatannya pada susunan al-Qur’ân, bukan seperti dugaan segelintir kecil orang bahwa ia dinamai demikian karena surah ini adalah awal surah al-Quran yang turun. Kita juga dapat berkata bahwa al-Fâtiẖah adalah Pembuka yang sangat agung bagi segala macam kebajikan.
Dalam pembahasan tafsir surah al-Fâtiẖah, penulis hanya mengambil sedikit intisari yang digambarkan oleh Tafsîr al-Mis̱bâẖ. Jika menukil secara utuh maka akan dapat ditemukan kedalaman pemahaman pengarang dalam penafsirannya, khususnya surah al-Fâtiẖah.
Dalam Tafsîr al-Mis̱bâẖ, Qurais shihab mengelompokkan tema surah al-Fâtiẖah dalam dua kategori, yaitu:
1.      Pembicaraan tentang Allâh dan sifat-sifatnya
2.        Pembicaraan tantang permohonan yang diajarkan Allâh kepada hamba-hambanya.[2]
Pembicaraan tentang Allâh dan sifat-sifat-Nya terwakili pada ayat 1 sampai dengan 4, sedang berkaitan dengan permohonan termaktub dalam ayat 5 sampai dengan 7.
Pembicaraan tentang Allâh dan sifat-sifatnya bisa juga kita tarik kesimpulan bahwa ayat-ayat ini berbicara tentang keimanan atau ketauhidan. Karena itu tidak salah jika Yunahar Ilyas dalam bukunya Kuliah Aqidah Islam memasukkan ayat-ayat al-Fâtiẖah sebagai dalil tentang tauhid.[3]
Sejalan dengan tafsir yang dikarang oleh Quraish Shihab, sebuah tulisan yang dibuat oleh Abû Mushlih Ari Wahyudi dalam www. Islam.or.id. menyebutkan bahwa dalam kandungan surah al-Fâtiẖah Allâh mengajarkan kepada manusia tugas hidup dunia, mengajarkan kepada mereka untuk bergantung dan berharap kepada-Nya, cinta dan takut kepada-Nya, serta menunjukkan kepada mereka jalan yang akan mengantarkannya menuju kebahagiaan.[4]Sementara kebahagian sejati menurut imam Ghazâlî adalah cinta kepada Allâh.[5] Cinta kepada Allâh merupakan puncak tertinggi dari tujuan akhir. Karena itu, tidak salah jika segala aktifitas baik harus disandarkan atas nama Allâh.
Kembali ke permasalahan Tafsîr al-Mis̱bâẖ, bahwa berkenaan dengan penafsiran surah al-Fâtiẖah penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:
1.      Ayat pertama dalam al-Fâtiẖah, yakni Bismillâh memberi pelajaran agar kita memulai setiap pekerjaan dengan mengucapkan Bismillâh sehingga terjalin hubungan yang erat antara si pengucap/ pembaca dengan Allâh Swt., dan dengan penyebutan kedua sifat-Nya ar-Rahmân ar-Raẖîm tertancap dalam hati si pembaca betapa besar rahmat Allâh sehingga semestinya pembacanya tidak akan berputus asa betapapun berat dan sulit keadaan yang dihadapinya.
2.      Ayat kedua surah al-Fâtiẖah, alẖamdulillâh yang artinya segala puji bagi Allâh adalah pengajaran agar seseorang selalu menyadari betapa besar rahmat dan anugerah Allâh kepada-Nya. Sehingga bila sesekali ia mengalami sesuatu yang tidak menyenangkannya, maka ia akan teringat rahmat dan nikmat Allâh yang selama ini dinikmatinya.
3.      Redaksi persona ketiga pada kalimat al-Hamdulillah dalam arti si pemuji tidak berhadapan langsung dengan Allâh, memberi pelajaran bahwa memuji tanpa kehadiran yang dipuji lebih baik daripada memuji di hadapannya. Sedang ayat kelima, Iyyâka na‘budû dan Iyyâka nasta‘în, yang artinya hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan, dikemukakan dalam bentuk persona kedua, dalam arti Allâh hadir dan si pemohon berhadapan langsung dengan Allâh. Ini karena dalam beribadah seseorang hendaknya bagaikan berhadapan langsung dengan-Nya. Inilah yang dimaksud oleh Nabi Saw ketika menjawab pertanyaan malaikat Jibril tentang makna al-Ihsan, yakni "Engkau menyembah Allâh seakan-akan melihat-Nya, dan bila tidak mampu melihat-Nya (dengan mata hatimu), maka ketahuilah bahwa Dia melihat-Mu", (HR Bukhârî melalui Umar Ibn al-Khaṯab).
4.      Pernyataan bahwa Allâh adalah Rabb al-‘alamin atau Tuhan Pemelihara seluruh alam memberi pelajaran bahwa Allâh mengurus, memelihara, dan menguasai seluruh jagad raya.
5.      Sementara kalimat Allâh Pemilik Hari Kemudian mengajarkan antara lain bahwa kuasa-Nya ketika itu sangat menonjol sehingga tidak satu pun yang mengingkari-Nya, tidak juga seseorang dapat membangkang, sebagaimana ia mengajarkan juga bahwa tidak seorang pun yang dapat mengetahui kehidupan di sana kecuali bila diberi tahu melalui wahyu oleh Allâh atau penyampaian nabi dan bahwa waktu kedatangan hari itu adalah suatu rahasia yang tidak diketahui kecuali oleh Allâh semata.
6.      Kata 'kami' pada ayat ke-5: "Hanya kepada-Mu kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan," mengandung beberapa pesan tentang kebersamaan antarumat yang menjadikan setiap Muslim harus memiliki kesadaran sosial, yang menjadikan ke-akuan-nya lebur secara konseptual bersama aku-aku lainnya. Setiap Muslim, dengan demikian, menjadi seperti satu jasad yang merasakan keperihan bila satu organ menderita penyakit.
7.      Ayat ke-7 surah ini mengajarkan agar menisbahkan segala yang baik kepada Allâh swt, sedang yang buruk harus dicari terlebih dahulu penyebabnya. Ini dipahami dari penisbahan pemberian nikmat kepada-Nya; "Jalan orang-orang yang Engkau beri nikmat," sedang menyangkut murka tidak dinyatakan: "Yang Engkau murkai," tetapi "Yang dimurkai.
Dalam tafsir surah al-Fâtiẖah ini M.Quraish Shihab juga mencantumkan banyak ẖadits, baik ẖadits yang ada dalam kitab s̱aẖih Bukhârî dan Muslim maupun yang lainnya, dan dalam hal ini ẖadits-ẖadits yang tercantum dalam Tafsîr al-Mis̱bâẖ khususnya surah al-Fâtiẖah dan bukan dikeluarkan oleh Bukhârî dan Muslim, akan penulis coba kaji ke otentisannya, diantara ẖadits tersebut adalah:
1.      Puji-pujian yang paling terpuji adalah yâ rabbi laka al-ẖamdu kamâ yanbaghî lijalâli wajhika
2.      H̱adits tentang s̱ilaturraẖmi̱
3.      Apabila seorang berdosa diteteskan kedalam hatinya satu titik hitam.




[1] M. Quraish Shihab. Tafsir al-Misbâh. Ciputat: Lentera Hati. 2007. hal. 3.
[2] Quraish Shihab. Tafsir al-Misbâh. hal. 9.
[3] Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah Islam. Yogyakarta: LPPI. 2009. hal. 19.
[4] www. Muslim. Or.id.
[5] Imam Ghazali. Ajaran Bahagia (terj. Kimyaa’u As-sa’adah). Yogyakarta: Cakrawala. 2011. Hal. 137.


Mewujudkan persamaan dalam bernegegara dalam tafsir fi Zilalil Quran



Islam adalah agama yang mengusung nilai-nilai persamaan. Allah berfirman:
 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz

“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal”. (al-Hujurât/49:13).

Menurut Quṯb, warna kulit, ras, bahasa, negara dan lainnya tidak ada dalam pertimbangan Allah. Di sana hanya ada satu timbangan untuk menguji seluruh nilai dan mengetahui keutamaan manusia. Yaitu, “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu.” Orang paling mulia yang hakiki ialah yang mulia menurut pandangan Allah.[1]
Bagi Quṯb, “...di sisi Allah semuanya sama sederajat, tidak ada sedikit pun kelebihan yang satu dari yang lain kecuali karena ketakwaannya. Itu merupakan satu permasalahan lain yang tidak ada kaitannya dengan asal dan pertumbuhan manusia, yaitu bahwasanya manusia ini semuanya sama tidak ada kelebihan antara yang satu dengan yang lain kecuali karena takwanya”...[2]  
Di dalam pemerintahan, semua manusia itu sama, tidak mengenal perbedaan suku, ras dan agama. Dalam menerima hak dan menjelankan kewajiban semua manusia sama di mata hukum dan sama-sama menerima keadilan tanpa harus memandang perbedaan. Persamaan dalam kehidupan manusia sejatinya karena manusia adalah makluk yang mulia. Allah berfirman:
ôs)s9ur $oYøB§x. ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä öNßg»oYù=uHxqur Îû ÎhŽy9ø9$# ̍óst7ø9$#ur Nßg»oYø%yuur šÆÏiB ÏM»t7ÍhŠ©Ü9$# óOßg»uZù=žÒsùur 4n?tã 9ŽÏVŸ2 ô`£JÏiB $oYø)n=yz WxŠÅÒøÿs?
“Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan[862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan”. (QS Al-Isra/17:70).

Kata Karramnȃ diambil dari akar kata karaman yang berarti kemuliaan. Karramnȃ berarti Kami (Allah) telah memuliakan. Adanya tasdid pada lafaẕ karramna menunjukkan banyaknya kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia. Kemuliaan yang diberikan Allah kepada manusia adalah anugerah berupa keistimewaan yang sifatnya internal.[3]
Begitu juga persamaan terungkap pada QS Al-Hujurat/49:13[4], yang menejelaskan bahwa ketaqwaan adalah standarisasi pembeda dari semua manusia yang berlainan jenis, suku, ras dan bangsa.  Menurut Quṯb:
“Bahwa orang-orang yang berbeda ras dan warna kulitnya, yang berbeda-beda suku dan kabilahnya, sesungguhnya berasal dari pokok yang satu. Maka, janganlah berikhtilaf, janganlah bercerai berai, jangan bermusuhan.[5]

            Menurut penulis manusia sejatinya sama. Islam adalah agama yang berdiri diatas persamaan suku, ras, bangsa, bahkan warna kulit. Terbukti ketika Islam berdiri di awalnya, Islam tidak memandang siapa yang memeluk Islam ketika itu. Islam berdiri diatas semua kepentingan manusia, diatas semua golongan, di atas semua tujuan manusia. Dalam hal ini pemerintahan yang bertanggung jawab adalah pemerintah yang berani menanungi semua golongan manusia, yang mau leindungi semua warga negaranya tanpa harus melihat warna kulit, ras, golongan, bangsa dan agama.
            Menurut Qutb bahwa ketakwaan di bawah naungan Allah adalah panji yang ditegakkan Islam untuk menyelamatkan umat manusia dari fanatisme ras, fanatisme daerah, fanatisme kabilah dan fanatisme rumah. Semua ini merupakan kejahiliahan yang kemudian dikemas dalam berbagai model dan dinamai dengan berbagai istilah. Islam memerangi fanatisme jahiliyah ini segala sosok dan bentuknya agar sistem Islam yang manusiawi dan mengglobal ini tegak di bawah satu panji, yaitu panji Allah bukan panji negara, bukan panji nasionalisme, bukan panji keluarga dan bukan panji ras. Semua itu merupakan panji palsu yang tidak dikenal.[6]
Dalam menjelaskan pembagian harta dalam warisan, Quṯb cenderung memahami ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan karena tugas dan perannya dalam sisi ekonomi. Adapun tentang kelipatan bagian kaum pria dari bagian kaum wanita dalam harta peninggalan warisan, maka rujukannya adalah pada watak kaum pria dalam kehidupan; ia menikahi wanita dan bertanggung jawab terhadap nafkah keluarganya selain bertanggung jawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan keluarganya itu.[7]
Dalam soal kepemimpinan Quṯb pun juga memberi penegasan bahwa kepemimpinan kaum pria atas wanita seperti yang tertera dalam QS an-Nisa/4:34[8]
Quṯb menjelaskan bahwa Allah memberikan lelaki kekhususan-kekhususan sendiri. Mereka dibekali kekuatan dan keperkasaan, perasaannya tidak terlalu sensitif dan reaktif, dan selalu menggunakan pertimbangan dan pikiran sebelum bertindak dan memberikan reaksi. Dari sifat inilah yang menjadikan laki-laki lebih melaksanakan kepemimpinan dan lebih layak menggeluti lapangannya sebagaimana tugasnya memberi nafkah yang merupakan salah satu cabang tugas khususnya menjadikannya lebih layak menjadi pemimpin. Karena mengatur kehidupan organisasi keluarga dengan seluruh anggotanya itu termasuk dalam kepemimpinan, Allah memberinya wewenang untuk mengatur penggunaan harta itu lebih sesuai karakter tugasnya itu. al-Qur’ȃn menetapkan kepemimpinan laki-laki atas wanita dalam masyarakat Islam. Kepemimpinan disebabkan oleh penciptaan dan kodratnya karena pembagian tugas dan kekhususan. Kepemimpinan karena keadilan dalam pembagian tugas masing-masing pihak pada bidang yang memang dimudahkan untuknya, dan masing-masing didukung oleh fitrahnya.[9]
Quṯb menafsirkan bahwa wanita tidak disiapkan untuk itu dan tidak ditugasi mengurusnya. Suatu kezaliman apabila memikulkan tugas kepemimpinan ini kepada wanita dan membebaninya dengan beban-beban lain. Apabila dia disiapakan untuk megemban tugas kepemimpinan ini dengan persiapan-persiapan yang tersimpan (dari dalam diri sendiri) dan dilatih mengemban tugas kepemimpinan ini dengan persiapan, dan dilatih dengan teoritis dan praktis, maka dibatasilah persiapannya untuk menunaikan tugas lain, yaitu tugas keibuan.[10]


[1] Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Jilid. VI, h. 3348.
[2] Sayyid Quṯb, al-‘Adālah al-Ijtimā’iyyah fī al-Islām, h. 67.
[3] Departemen Agama RI, Al-Qur’ȃn dan Tafsirnya, Vol. V, h. 516-517.
[4]   $pkšr'¯»tƒ â¨$¨Z9$# $¯RÎ) /ä3»oYø)n=yz `ÏiB 9x.sŒ 4Ós\Ré&ur öNä3»oYù=yèy_ur $\/qãèä© Ÿ@ͬ!$t7s%ur (#þqèùu$yètGÏ9 4 ¨bÎ) ö/ä3tBtò2r& yYÏã «!$# öNä39s)ø?r& 4 ¨bÎ) ©!$# îLìÎ=tã ׎Î7yz
[5] Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Jilid. VI, h. 3348.
[6]  Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Jilid. VI, h. 3348.
[7]  Sayyid Quṯb, al-‘Adālah al-Ijtimā’iyyah fī al-Islām, h. 71.
[8]   ãA%y`Ìh9$# šcqãBº§qs% n?tã Ïä!$|¡ÏiY9$# $yJÎ/ Ÿ@žÒsù ª!$# óOßgŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ !$yJÎ/ur (#qà)xÿRr& ô`ÏB öNÎgÏ9ºuqøBr&
[9]  Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Jilid. II, h. 649.
[10]  Sayyid Quṯb, Fȋ Ẕilȃl al-Qur’ȃn,  Jilid. II, h. 650.

implementasi Amanah dalam kehidpan berbangsa dan bernegara

Dalam a l-Qur`ân secara ekplisit menyebut amȃnah sebanyak enam ayat dengan kategori mufrad (tunggal), dan jamak nya, yaitu pada Q...